Rabu, 07 Oktober 2009

KETAHANAN PANGAN

I. PENDAHULUAN

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan

penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Di PP tersebut juga disebutkan dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan.

Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi seimbang.

PP Ketahanan Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping itu, kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi, perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan serta riset dan teknologi pangan.
Dari uraian di atas terlihat ketahanan pangan berdimensi sangat luas dan melibatkan banyak sektor pembangunan. Keberhasilan pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh performa salah satu sektor saja tetapi juga oleh sektor lainnya. Dengan demikian sinergi antar sektor, sinergi pemerintah dan masyarakat (termasuk dunia usaha) merupakan kunci keberhasilan pembangunan ketahanan pangan.

Menyadari hal tersebut di atas, Pemerintah pada tahun 2001 telah membentuk Dewan Ketahanan Pangan ( DKP) diketuai oleh Presiden RI dan Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian DKP. DKP terdiri dari 13 Menteri termasuk Menteri Riset dan Teknologi dan 2 Kepala LPND. Dalam pelaksanaan sehari-hari, DKP dibantu oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan Deptan, Tim Ahli Eselon I Menteri Terkait (termasuk Staf Ahli Bidang Pangan KRT) , Tim Teknis dan Pokja.


II. KETAHANAN PANGAN DEWASA INI

1. Impor

Sejak krisis ekonomi hingga sekarang, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih dari 210 juta jiwa, dalam periode 1997-2003, Indonesia harus mengimpor bahan pangan diantaranya beras rata-rata 2 juta ton, kedelai 900 ribu ton, gula pasir 1,6 juta ton, jagung 1 juta ton, akhir-akhir ini garam sebesar 1,2 juta ton dan menghabiskan devisa negara 900 juta dolar AS pada tahun 2003 (Tabel 1).

Tabel 1. Volume dan Nilai Impor beberapa bahan pangan tahun 2003

Komoditas Volume Impor rata-rata-rata
1997-2002
(ton) Volume Impor thn 2003
( ton) Nilai Impor rata-rata
1997-2002 (juta dolar AS) Nilai Impor tahun 2003
(juta dolar AS)
Beras 2 024 384 1 428 433 586 414
Kedelai 903 615 921 000 229 275.5
Gula 1 557 259 618 678 418 85.31
Garam 1 300 000 1 700 000 49 55
*) Badan Pusat Statistik, 2003



2. Produksi

Produksi beras mengalami penurunan dalam 1997-2002, kemudian meningkat kembali. (Tabel 2). Produksi beras pada tahun 2003 sebesar 31.2 juta ton. Produksi kedelai menurun sangat tajam dengan rata-rata penurunan sekitar 25%, akibat menurunnya luas areal pertanaman kedelai. Produksi kedelai pada tahun 2003 berjumlah 671 ribu ton. Produksi gula cenderung stagnan pada level 1,7 juta ribu ton. Produksi garam cenderung menurun hanya mencapai 300 000 ton pada tahun 2003. Menurut ramalan ke -3 BPS, produksi beras dan kedelai tahun 2004 meningkat sedikit dari tahun 2003.

Tabel 2. Produksi beberapa bahan pangan tahun 2003

Komoditi Produksi (000 ton) Pertumbuhan (%)
Rata-rata 1999-2002 2003 1999-2002 2003
terhadap 2002
Beras 30.294 31.200 -1.15 2.92
Kedelai 712 672 -25.15 -0.09
Gula 1.692 1.681 3.73 -1.16
Garam 700 350 -25 -10
3. Konsumsi

Di sisi lain kebutuhan pangan cenderung meningkat 2,5-4% sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Kebutuhan beras, kedelai, gula dan garam pada tahun 2003 masing-masing berjumlah 33,4 juta ton, 1,95 juta ton, 3 juta ton, dan 2,05 juta ton.

Tabel 3. Kebutuhan beberapa bahan pangan tahun 2003

Komoditi Kebutuhan (000 ton) Pertumbuhan
2002 2003 ton %
Beras 32.158 33.372 1.214 3.78
Kedelai 1.901 1.951 50 2,6
Gula 2.883 3.000 117 4
Garam 2.000 2.050 50 2,5

Melihat data produksi dan kebutuhan pangan pada tahun 2003 terlihat bahwa terjadi defisit untuk keempat jenis komoditas pangan tersebut, beras sejumlah 1, 6 juta ton, kedelai 1,3 juta ton, gula 1,32 juta ton dan garam sejumlah 1,7 juta ton. Defisit pangan ini diatasi dengan cara mengimpor . Kecuali untuk beras, persentase impor pangan lainnya terhadap produksi sangat mengkhawatirkan berkisar 30-70%.
Dengan jumlah penduduk yang besar sekitar 216 juta jiwa pada tahun 2003 dan laju pertumbuhan 1.35% per tahun, maka kebutuhan pangan akan semakin besar di masa mendatang. Pada tahun 2005 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 220.6 juta jiwa, dan tahun 2010 sebesar 236 juta. Apabila kemampuan produksi bahan pangan nasional tidak dapat mengikuti peningkatan kebutuhannya, maka Indonesia akan semakin tergantung pada impor yang berdampak membahayakan ketahanan nasional.


III. MASALAH DAN TANTANGAN

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan menyangkut beberapa aspek 1) Ketersediaan Pangan, 2) Distribusi Pangan 3) Konsumsi pangan, 4) Pemberdayaan masyarakat dan 5) Manajemen.

1. Aspek Ketersediaan Pangan

Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial - ekonomi;

a. Teknis
1. Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian ke non pertanian seperti industri dan perumahan (laju 1%/tahun).
2. Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.
3. Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.
4. Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan kemampuannya semakin menurun.
5. Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca panen (10-15%).
6. Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino yang berdampak pada musim kering yang panjang di wilayah Indonesia dan banjir .

b. Sosial- ekonomi
7. Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh pemerintah.
8. Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan karena besarnya jumlah petani (21 juta rumah tangga petani) dengan lahan produksi yang semakin sempit dan terfragmentasi (laju 0,5%/tahun).
9. Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang wajar dari pemerintah kecuali beras.
10. Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk kebijakan tarif impor yang melindungi kepentingan petani.
11. Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi penyediaan pangan.

2. Aspek Distribusi Pangan

a. Teknis

1. Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar pulau yang dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen.
2. Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan, penyimpanan dan distribusi pangan , kecuali beras.
3. Sistem distribusi pangan yang belum efisien.
4. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan agar pangan tersedia sepanjang waktu diseluruh wilayah konsumen.

b. Sosial-ekonomi

5. Belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik dalam menyangga kestabilan distribusi dan harga pangan.
6. Masalah keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur distribusi dan pemasaran telah menghasilkan biaya distribusi yang mahal dan meningkatkan harga produk pangan.

3. Aspek Konsumsi Pangan

a. Teknis

1. Belum berkembangnya teknologi dan industri pangan berbasis sumber daya pangan lokal
2. Belum berkembangnya produk pangan alternatif berbasis sumber daya pangan lokal.

b. Sosial-ekonomi

3. Tingginya konsumsi beras per kapita per tahun ( tertinggi di dunia > 100 kg, Thailand 60 kg, Jepang 50 kg) .
4. Kendala budaya dan kebiasaan makan pada sebagian daerah dan etnis sehingga tidak mendukung terciptanya pola konsumsi pangan dan gizi seimbang serta pemerataan konsumsi pangan yang bergizi bagi anggota rumah tangga.
5. Rendahnya kesadaran masyarakat, konsumen maupun produsen atas perlunya pangan yang sehat dan aman.
6. Ketidakmampuan bagi penduduk miskin untuk mencukupi pangan dalam jumlah yang memadai sehingga aspek gizi dan keamanan pangan belum menjadi perhatian utama.

4. Aspek Pemberdayaan Masyarakat

1. Keterbatasan prasarana dan belum adanya mekanisme kerja yang efektif di masyarakat dalam merespon adanya kerawanan pangan, terutama dalam penyaluran pangan kepada masyarakat yang membutuhkan.
2. Keterbatasan keterampilan dan akses masyarakat miskin terhadap sumber daya usaha seperti permodalan, teknologi, informasi pasar dan sarana pemasaran meyebabkan mereka kesulitan untuk memasuki lapangan kerja dan menumbuhkan usaha.
3. Kurang efektifnya program pemberdayaan masyarkat yang selama ini bersifat top-down karena tidak memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan kemampuan masyarakat yang bersangkutan.
4. Belum berkembangnya sistem pemantauan kewaspadaan pangan dan gizi secara dini dan akurat dalam mendeteksi kerawanan panagan dan gizi pada tingkat masyarakat.

5. Aspek Manajemen

Keberhasilan pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan dipengaruhi oleh efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen pembangunan yang meliputi aspek perencanan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta koordinasi berbagai kebijakan dan program. Masalah yang dihadapi dalam aspek manajemen adalah:
1. Terbatasnya ketersediaan data yang akurat, konsisten , dipercaya dan mudah diakses yang diperlukan untuk perencanaan pengembangan kemandirian dan ketahanan pangan
2. Belum adanya jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dan konsumen kecil di bidang pangan.
3. Lemahnya koordinasi dan masih adanya iklim egosentris dalam lingkup instansi dan antar instansi, subsektor, sektor, lembaga pemerintah dan non pemerintah, pusat dan daerah dan antar daerah.


IV. PELUANG

Sebagai negara agraris yang besar dengan potensi sumber daya alam yang beragam, Indonesia mempunyai berbagai peluang untuk mencapai kemadirian dalam bidang pangan secara berkelanjutan sebagai berikut

1. Keragaman sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang besar yang dapat dimanfaatkan melalui pemanfaatan dan pengembangan pangan sumber kabohidrat non beras, sumber protein dan gizi mikro di masing-masing daerah
2. Perkembangan teknologi yang pesat dalam berbagai aspek ; produksi, pasca panen dan pengolahan, distribusi, pemasaran untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan, produktivitas dan efisiensi, meningkatkan keuntungan agribisnis pangan, dan ketahanan pangan
3. Perubahan manajemen pembangunan dan pemerintah kearah desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang memudahkan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.


V. TUJUAN

Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah mencapai ketahanan dalam bidang pangan dalam kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dari produksi pangan nasional yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, jumlah dan mutu, aman, merata dan terjangkau seperti diamanatkan dalam UU pangan


VI. STRATEGI

Strategi yang dikembangkan dalam upaya pembangunan kemandirian pangan adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan kapasitas produksi pangan nasional secara berkelanjutan (minimum setara dengan laju pertumbuhan penduduk) melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi.
2. Revitalisasi industri hulu produksi pangan (benih, pupuk, pestisida dan alat dan mesin pertanian) .
3. Revitalisasi Industri Pasca Panen dan Pengolahan Pangan.
4. Revitalisasi dan restrukturisasi kelembagaan pangan yang ada ; koperasi, UKM dan lumbung desa.
5. Pengembangan kebijakan yang kondusif untuk terciptanya kemandirian pangan yang melindungi pelaku bisnis pangan dari hulu hingga hilir meliput penerapan technical barrier for Trade (TBT) pada produk pangan, insentif, alokasi kredit , dan harmonisasi tarif bea masuk, pajak resmi dan tak resmi.

Strategi untuk mencapai ketahanan pangan disajikan pada Gambar 1.

Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri dari subsistem ketersediaan meliput produksi , pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini akan hanya akan berjalan dengan efisien oleh adanya partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah. Partisipasi masyarakat ( petani, nelayan dll) dimulai dari proses produksi, pengolahan , distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan di bidang pangan. Fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro dan mikro di bidang perdagangan, pelayanan dan pengaturan serta intervensi untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan. Output dari pengembangan kemandirian pangan adalah terpenuhinya pangan, SDM berkualitas, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.

VII. PROGRAM

Dengan memperhatikan pedoman dan ketentuan hukum, serta tujuan dan strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan , maka kebijakan dan program yang akan ditempuh dikelompokkan dalam 1) Program jangka pendek (sampai dengan 5 tahun) 2) Program jangka menengah (5-10 tahun ) dan 3) Program jangka panjang (> 10 tahun)

A. Program Jangka Pendek

Program jangka pendek ditujukan untuk peningkatan kapasitas produksi pangan nasional dengan menggunakan sumberdaya yang telah ada dan teknologi yang telah teruji. Komponen utama program ini adalah
1. Ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanian (140.000 Ha/tahun)

Ekstensifikasi lahan pertanian ditujukan untuk memperluas lahan produksi pertanian, sehingga produksi pangan secara nasional yang sekarang dapat ditingkatkan. Ekstensifikasi dilakukan terutama untuk kedelai, gula dan garam karena rasio impor terhadap produksi besar (30-70%). Lahan yang diperluas diperuntukkan bagi petani miskin dan tunakisma (< 0.1 Ha), tetapi memiliki keahlian/pengalaman bertani. Lahan kering yang potensial seluas 31 juta Ha dapat dimanfaatkan menjadi lahan usahatani. Sekarang ini baru 4 juta Ha lahan kering yang telah dibuka untuk area tanaman pangan dan perkebunan yang telah dibagikan kepada lebih dari 1 juta keluarga petani. Perluasan dilakukan di propinsi yang luas dan kaya seperti Kalimantan, Jambi, Irian Jaya dan Sumatra Selatan. Koordinator program ini adalah Departemen Pertanian didukung Depertemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Kehutanan dan Perkebunan serta Pemda.
Biaya yang diperlukan bagi ekstensifikasi lahan pertanian untuk kedelai dengan asumsi luas lahan pertanian yang dibuka adalah 140000 Ha/tahun dan biaya pembukaan lahan kering adalah 4 000 000/Ha dan biaya budidaya Rp 3,5 juta tahun maka kebutuhan biaya ekstensifikasi adalah 1,05 trilyun rupiah per tahun. Target kepemilikan lahan petani adalah 2 Ha (karena akan efisien) sehingga jumlah petani yang memiliki lahan 2 Ha akan bertambah 70000 petani/tahun. Biaya budidaya direvolving untuk tahun berikutnya sehingga tidak perlu mengalokasikan dana untuk yang sudah dibuka. Kenaikan produksi yang diharapkan adalah untuk kedelai 280 000 ton dengan masa tanam 2 kali. Untuk gula dan garam, ekstensifikasi dilakukan dengan memanfaatkan kembali lahan produksi gula dan garam yang telah beralih fungsi.
2. Intensifikasi

Program ini diarahkan untuk peningkatan produksi melalui peningkatan produktifitas pertanian. Intensifikasi ditujukan pada lahan-lahan pertanian subur dan produktif yang sudah merupakan daerah lumbung pangan seperti Kerawang, Subang dan daerah pantura lainya di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan propinsi lainnya. Penekanan program ini pada peningkatan pertanaman (dari 1 menjadi 2, dari 2 kali menjadi 3 kali ) dan ketepatan masa tanam didukung oleh adanya peralatan pertanian, kebutuhan air (jaringan irigasi baru), pupuk dan benih serta pengendalian hama penyakit terpadu.

Koordinator program ini adalah Deptan, didukung oleh Pemda, LAPAN, BATAN,LIPI, BPPT, PUSRI, PERTANI, Sang Hyang Seri, Bank dan Jasa Alsin Pertanian. Biaya program ini lebih diarahkan pada koordinasi antar instansi dan alokasi kredit usaha tani. Biaya koordinasi antar instansi dan pembinaan dimasukkan pada anggaran masing-masing departemen.
Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi dengan Lembaga Pemerintah Non departemen , seperti LAPAN berperan memberikan data dan informasi tentang iklim dan cuaca yang dapat dimanfaatkan petani dan pihak yang membutuhkan dalam berproduksi. BATAN dan LIPI berperan dalam menciptakan varietas padi dan palawija yang tahan kekeringan untuk mensuplai kebutuhan benih nasional. BPPT dan LIPI berperan dalam teknologi budidaya dan pasca panen.

Peningkatan produktifitas padi 10% per 5 tahun dapat mempercepat terwujudnya swasembada beras (konsumsi 100 kg/kapita/hari). Untuk kedelai swasembada sulit dicapai tanpa diimbangi dengan peningkatan luas areal kedelai secara signifikan. Produktifitas kedelai perlu ditingkatkan sebesar 50-100% diimbangi dengan penambahan luas areal 2-3 kali lipat dari yang ada sekarang. Produktifitas gula dan garam perlu ditingkatkan sebesar 50-100%, diimbangi dengan perluasan areal tebu dan garam.
3. Diversifikasi

Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi dilakukan dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan sektor alat dan mesin dan kredit menjadi penting pada saat transformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi berjalan efisien.

Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi berperan dalam diversifikasi pangan melalui penyediaan teknologi diversifikasi pangan pokok alternatif (program RUSNAS).

Koordinator kegiatan ini adalah Kantor Menristek dan Deptan, dibantu oleh P dan K, Informasi, BKKBN, Sosial dan Kesehatan.
4. Revitalisasi Industri Pasca Panen dan Pengolahan Pangan

Revitalisasi/restrukturisasi industri pasca panen dan pengolahan pangan diarahkan pada 1) penekanan kehilangan hasil dan penurunan mutu karena teknologi penanganan pasca panen yang kurang baik, 2) pencegahan bahan baku dari kerusakan dan 3) pengolahan bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan produk pangan.

Kegiatan yang dilakukan adalah implementasi alat mesin dan teknologi pasca panen yang efektif dan efisien ; perontokan dan pengeringan pada tingkat petani, pengumpul, KUD dan usaha jasa pelayanan alsin pasca panen di sentra produksi (beras, kedelai). Produktifitas industri gula ditingkatkan dengan modernisasi alat dan mesin pengolahan gula.

Industri pangan non beras di sentra produksi didorong pengembangannya untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan baku dan bahan baku menjadi produk pangan. Dengan demikian, industrialisasi dan agroindustri pangan akan berkembang dan tumbuh di pedesaan. Program ini akan berdampak luas kepada penyediaan lapangan kerja dan penurunan laju urbanisasi. Jenis industri pengolahan pangan yang dikembangkan disesuaikan dengan potensi bahan baku dan adanya pasar.

Paket teknologi serta alat dan mesin pasca panen dan pengolahan pangan yang telah dikembangkan oleh berbagai lembaga Deptan, Dep. Perindustrian, dan Dep Perikanan dan Kelautan, BPPT, LIPI dan PT serta Swasta dapat segera diterapkan setelah mendapat pengujian.

Alokasi dana ditujukan pada penyediaan kredit alsin pasca panen dan pengolahan dan pengembangan sentra pengolahan pangan.
Koordinator program adalah Deptan dan Depperin didukung oleh Bank, dan Asosiasi Alat dan Mesin Pertanian dan pengolahan Pangan.

5. Revitalisasi dan Restrukturisasi Kelembagaan Pangan

Keberadaan, peran dan fungsi lembaga pangan seperti kelompok tani, UKM, Koperasi perlu direvitalisasi dan restrukturisasi untuk mendukung pembangunan kemandirian pangan. Kemitraan antara lembaga perlu didorong untuk tumbuhnya usaha dalam bidang pangan. Koordinator kegiatan ini adalah Meneg Koperasi dan UKM dan Deptan dibantu oleh Depperindag. Alokasi dana untuk kegiatan ini berupa koordinasi antar departemen dan instansi untuk melahirkan kebijakan baru untuk kelembagaan pangan. Kebutuhan dana dibebankan pada anggaran masing-masing departemen.

6. Kebijakan Makro

Kebijakan dalam bidang pangan perlu ditelaah dan dikaji kembali khususnya yang mendorong tercapainya ketahanan pangan dalam waktu 1-5 tahun. Beberapa hal yang perlu dikaji seperti pajak produk pangan, retribusi, tarif bea masuk, iklim investasi, dan penggunaan produksi dalam negeri serta kredit usaha.

Koordinator program ini adalah Departemen Keuangan dibantu oleh Departemen terkait dan Pemda. Masukan dapat diperluas dari swasta, lembaga petani dan koperasi. Alokasi dana diperlukan untuk rapat koordinasi dan penyusunan kebijakan antar instansi.

7. Program Jangka Menengah (5-10 tahun)

Program jangka menengah ditujukan pada pemantapan pembangunan ketahanan pangan yang lebih efisien dan efektip dan berdaya saing tinggi. Beberapa program yang relevan untuk dilakukan adalah

1. Perbaikan undang-undang tanah pertanian termasuk didalamnya pengaturan luasan lahan pertanian yang dimiliki petani, pemilikan lahan pertanian oleh bukan petani. Sistem bawon atau pembagian keuntungan pemilik dan penggarap, dsb.
2. Modernisasi pertanian dengan lebih mendekatkan pada pada peningkatan efisiensi dan produktivitas lahan pertanian, penggunaan bibit unggul, alat dan mesin pertanian dan pengendalian hama terpadu dan pasca panen dan pengolahan pangan.
3. Pengembangan jaringan dan sistem informasi antar instansi, lembaga yang terkait dalam bidang pangan serta pola kemitraan bisnis pangan yang berkeadilan.
4. Pengembangan prasarana dan sarana jalan di pertanian agar aktivitas kegiatan pertanian lebih dinamis.

8. Program Jangka Panjang (> 10 tahun)

1. Konsolidasi lahan agar lahan pertanian dapat dikelola lebih efisien dan efektip, karena masuknya peralatan dan mesin dan menggiatkan aktivitas ekonomi dan pedesaan.
2. Perluasan pemilikan lahan pertanian oleh petani.



PUSTAKA


1. Achmad Suryana, 2001. Kebijakan Nasional Pemantapan Ketahanan Pangan. Makalah pada Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang , 9-10 Oktober 2001
2. Anonim, 1996. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan RI.
3. Anonim , 2000. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
4. Siswono Yudo Husodo. 2001.Kemandirian di Bidang Pangan, Kebutuhan Negara Kita. Makalah Kunci pada Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang , 9-10 Oktober 2001




























Read more.....

Persoalan Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah

Banyak pihak menilai bahwa pembangunan sumber daya manusia
pertanian, termasuk pembangunan kelembagaan penyuluhan dan peningkatan kegiatan
penyuluhan pertanian, adalah faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap
cerita keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia. Khususnya dalam upaya
pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 dan penurunan jumlah penduduk miskin
perdesaan. Beberapa studi juga menunjukkan

bahwa investasi di bidang penyuluhan
pertanian memberikan tingkat pengembalian internal yang tinggi. Oleh karena itu,
kegiatan penyuluhan pertanian merupakan komponen penting dalam keseluruhan aspek
pembangunan pertanian. Namun, ketika proses transformasi ekonomi menuju ke
industrialisasi berlangsung, anggaran pemerintah untuk mendukung pembangunan
sektor pertanian, termasuk penyuluhan pertanian, mengalami penurunan yang
signifikan.
Di samping harus menghadapi keterbatasan alokasi anggaran, sejak
akhir 1980-an kegiatan penyuluhan pertanian mengalami beberapa persoalan, antara
lain:
a.
Kelembagaan penyuluhan pertanian sering berubah-ubah, sehingga
kegiatannya sering mengalami masa transisi. Kondisi ini menyebabkan penyuluhan
pertanian di lapangan sering terkatung-katung dan kurang berfungsi. Semangat
kerja para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang status kepegawaiannya tidak
pasti, juga menurun.
b.
Dibandingkan dengan kebutuhan, jumlah PPL yang ada kurang mencukupi,
demikian pula kualitas dan kapasitasnya. Umumnya pendidikan mereka hanya
setingkat SLTA sehingga kurang mampu mendukung petani dalam menghadapi persoalan
pertanian yang semakin kompleks. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah
memang telah meningkatkan kemampuan mereka melalui berbagai pelatihan, namun
frekuensi kegiatan semacam ini cenderung masih kurang memadai.

Mulai tahun 2001, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah,
kewenangan di bidang penyuluhan pertanian dilimpahkan kepada pemerintah daerah.
Sesuai dengan tujuan otonomi daerah, pelimpahan kewenangan ini diharapkan mampu
meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian. Sayangnya, secara umum kinerja
penyuluhan pertanian justru cenderung makin memburuk, serta menunjukkan gejala
kehilangan arah. Kendala yang dihadapi oleh penyuluhan pertanian dalam era
otonomi daerah antara lain meliputi dan merupakan akibat dari:
a.
Adanya perbedaan pandangan antara pemerintah daerah dan para
anggota DPRD dalam memahami penyuluhan pertanian dan peranannya dalam
pembangunan pertanian. Banyak daerah yang kemudian mengurangi peranan
kelembagaan penyuluhan pertanian menjadi sekedar sebagai lembaga teknis, tidak
berbeda misalnya dengan kelembagaan untuk perlindungan tanaman. Akibatnya, jenis
kelembagaan dan organisasi penyuluhan pertanian di daerah menjadi sangat beragam
dengan eselon yang beragam pula. Perbedaan eselon antara pejabat struktural (dinas)
dengan pejabat fungsional (penyuluhan) menjadi salah satu kendala untuk
melakukan koordinasi pelaksanaan program penyuluhan.
b.
Kecilnya alokasi anggaran pemerintah daerah untuk kegiatan
penyuluhan pertanian. Hal ini antara lain mengakibatkan:
• Rasio antara jumlah kendaraan operasional (sepeda motor) dengan jumlah PPL sangat rendah, akibatnya mobilitas para PPL menjadi rendah pula.
• Fungsi strategis BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) umumnya tidak didukung oleh fasilitas yang memadai. Selain jumlahnya kurang mencukupi, saat ini kondisi umum BPP juga kurang representatif sebagai pusat kegiatan penyuluhan pertanian. Fasilitas dan kelengkapan BPP
kurang terawat dan jumlahnya sangat sedikit. Kondisi ini menjadi salah satu
faktor penyebab merosotnya atau hilangnya penghargaan dan kepercayaan petani dan masyarakat sekitar terhadap para penyuluh dan kegiatan penyuluhan.
• Alokasi dana bagi penunjang kegiatan operasional penyuluhan mengalami penurunan yang signifikan. Untuk keperluan ATK (alat tulis kantor), misalnya, ada kasus para penyuluh hanya menerima kertas sebanyak setengah rim dan dua kotak isi staples untuk kegiatan selama satu tahun. Jumlah uang jalan tetap (UJT) bagi PPL juga mengalami pengurangan dan distribusinya antardaerah dan dinas tidak merata.

c.
Ketersediaan dan dukungan informasi pertanian (teknologi, harga
pasar, kesempatan berusaha tani, dsb.) yang ada di BPP sangat terbatas, atau
bahkan tidak tersedia. Ironisnya, sejumlah koran, majalah dan leaflet banyak
terlihat menumpuk di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten, tidak didistribusikan ke
BPP atau desa-desa.
d.
Makin merosotnya kapasitas dan kemampuan manajerial penyuluh.
Akibatnya, frekuensi penyelenggaraan penyuluhan menjadi rendah. Program
penyuluhan yang disusun BPP lebih banyak hanya digunakan sebagai formalitas
kelengkapan administratif. Kalaupun dilaksanakan, proporsinya tidak lebih dari
50% dari sasaran program yang direncanakan. Beberapa hal yang berkaitan dengan
kondisi ini adalah:
• Para PPL tidak aktif lagi mengunjungi Kelompok Tani. Alasannya, petani sekarang sudah enggan menemui para penyuluh karena setiap kali datang ke Kelompok Tani, hanya satu atau dua orang petani saja yang mau menemui mereka. Hal ini membuat para penyuluh tidak lagi tertarik serta enggan bertemu dengan petani.
• Menurut petani, mereka enggan menemui para penyuluh karena materi penyuluhan dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan, hanya berkisar pada persoalan umum usaha tani. Para petani merasa lebih memahami masalah itu daripada PPL.

Melihat kecenderungan yang terjadi saat ini, dapat dikatakan bahwa
kegiatan penyuluhan pertanian menghadapi tantangan yang makin berat.
Persoalannya tidak saja terletak pada faktor eksternal seperti kebijakan
pemerintah daerah yang umumnya tidak pro-penyuluhan pertanian, melainkan juga
terletak pada faktor internal, khususnya yang berkaitan dengan profesionalisme
dan paradigma penyuluhan yang dianut para penyuluh dan atau pemerintah daerah.
Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, banyak pihak menyadari
bahwa kegiatan penyuluhan pertanian masih sangat diperlukan oleh petani. Kondisi
pertanian rakyat masih lemah dalam banyak aspek, sementara tantangan yang
dihadapi semakin berat, jadi sebenarnya mereka justru memerlukan kegiatan
penyuluhan yang makin intensif, berkesinambungan dan terarah. Untuk mewujudkan
kondisi penyuluhan pertanian seperti ini memang tidak mudah, dan tidak mungkin
dapat dilakukan dalam waktu singkat. Meskipun demikian, upaya-upaya perbaikan
yang nyata perlu segera dilakukan, karena jika tidak, kinerja penyuluhan
pertanian yang memang sudah mengalami kemunduran besar akan semakin memburuk



Read more.....

PEMBUATAN FERMENTASI JERAMI

PENDAHULUAN
Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang cukup besar jumlahnya dan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Produksi jerami padi bervariasi yaitu dapat mencapai 12-1 5 ton per hektar satu kali panen, atau 4-5 ton bahan kering tergantung pada lokasi dan jenis varietas tanaman yang digunakan.Berbagai upaya boleh dilakukan untuk meningkatkan kualitas jerami padi, baik dengan cara fisik, kimia maupun biologis.

Tetapi cara-cara tersebut biasanya disamping mahal, juga hasilnya kurang memuaskan. Dengan cara fisik misalnya,
memerlukan investasi yang mahal; secara kimiawi meninggalkan residu yang mempunyai efek buruk sedangkan dengan cara biologis memerlukan peralatan yang mahal dan hasilnya kurang disukai ternak (ban amonia yang menyengat). Cara baru yang relatif murah, praktis dan hasilnya sangat disukai ternak adalah
fermentasi dengan menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (contohnya: starbio, starbioplus, EM-4 dan lain-lain).
1. Bahan.
- Jerami: 1 ton
- Urea: 6 kg
- Starbio atau bahan sejenis: 6 kg
- Air: Secukupnya
2. Tempat, Ada naungan/atap terhindar dari hujan dan sinar matahari langsung.
3. Cara Pembuatan
- Jerami kering panen dilayukan selama ± 1 hari untuk mendapatkan kadar air mendekati 60%, dengan tanda-tanda jerami kita remas, apabila air tidakmenetes tetapi tangan kita basah berarti kadar air mendekati 60%.
- Jerami yang sudah dilayukan tersebut dipindahkan ke tempat pembuatandengan cara ditumpuk setebal 20-30 con (boleh diinjak-injak) kemudianditaburkan urea, bahan pemacu mikroorganisme (starbio atau bahan sejenis) dan air secukupnya kemudian ditumpuk lagi jerami seperti cara di atas sehingga mencapai ketinggian ± 1,5 m.
- Tumpukan jerami dibiarkan selama 21 hari (tidak perlu dibolak-balik).Setelah 21 hari tumpukan jerami dibongkar lalu diangin-anginkan ataudikeringkan.
- Jerami siap diberikan pada ternak atau kita stok dengan digulung, dibok dan disimpan dalam gudang
- Tahan disimpan selama ± 1 tahun
4. Catatan
Dalam membuat jerami fermentasi tidak perlu ditutup. Apabila membuat jerami fermentasi dalam jumlah sedikit tumpukan jerami bisa ditutup dengan sehelai karung goni.Selain jerami, bahan lain yang bisa di fermentasi untuk makanan ternak antara lain: alang-alang, pucuk tebu dll. Alang-alang dibuat fermentasi dengan dilayukan terlebih dahulu dan harus dipotong-potong antara 5-10 cm (bahan sama yaitu
starbio dan urea).Fungsi urea pada proses pembuatan fermentasi adalah sebagai pensuplai NH3 , ini
digunakan sebagai sumber energi bagi mikrobia dalam poses fermentasi. Jadi disini urea tidak sebagai penambah nutrisi pakan. Bisa juga dikatakan sebagai katalisator dalam proses fermentasi.

5. Perbedaan Amoniasi dan fermentasi
Amoniasi:
Yaitu suatu poses perombakan dari struktur keras menjadi struktur lunak (hanya
struktur fisiknya) dan penambahan unsur N saja.
Fermentasi:
Yaitu proses perombakan dari struktur keras secara fisik, kimia dan biologis sehingga
bahan dari struktur yang komplek menjadi sederhana, sehingga daya cerna ternak
menjadi Iebih efisien



Read more.....

Prinsip-prinsip Mengembangkan Penyuluhan Pertanian Partisipatif

Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan pada 'pengenalan dan pelembagaan peyuluhan pertanian partisipatif ' antara lain adalah:
Sebuah proses pembelajaran pemberdayaan yang bermaksud untuk melakukan perbaikan yang terus menerus Memperkenalkan dan melembagakan

penyuluhan petanian partisipatif adalah sebuah proses belajar yang melibatkan pelatihan, lokakarya dan praktek. Berdasarkan dari pengalaman dan umpan balik dari lapangan dan yang diberikan pada lembaga, metode dan sistemnya terus-menerus dikembangkan dan dimodifikasi. Jadi ini adalah sebuah proses perkembangan yang terus berlanjut. Proses itu sendiri bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pada penyuluh dan badan-badan penyuluhan untuk meningkatkan pelayanan mereka, dan tentunya itu juga adalah proses pemberdayaan.
Terus menerus dan berorientasi aksi
Sebagai proses belajar yang berdasar pada konsep dan pengalaman, pelembagaan bukanlah soal pelatihan dan lokakarya internal. Penerapannya, itulah yang menjadi faktor kunci untuk kesuksesannya. Dalam setiap pelatihan, lokakarya dan pertemuan, perencanaan konkrit harus menjadi suatu hasil utama. Pelaksanaan rencana kerja dan umpan balik dari lapangan akan memberikan acuan baru terhadap tindakan dan pengembangan selanjutnya.
Berpusat pada manusia
Penyuluhan pertanian partisipatif dan pelembagaannya berpusat pada manusia dan bukan hanya berorientasi teknis. Pertanian dilakukan oleh masyarakat dan oleh karena itu penyuluhan pertanian harus bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan bukan untuk meningkatkan produktifitas pertanian atau berfokus pada teknologi. Para pihak yang terkait harus sensitive secara sosial, budaya, dan gender.
Solusi yang spesifik dan fleksibel, bukan cetak biru
Pengenalan dan pelembagaan penyuluh partisipatif haruslah berdasarkan atas keadaan, pengalaman nyata dan umpan balik dari masyarakat lokal. Tidak ada cetak biru (blue print) untuk pelembagaan penyuluh partisipatif, karenanya fleksibilitas lembaga pelaksana adalah suatu keniscayaan.
Bottom-up, tanggap terhadap isu gender dan lebih memperhatikan kelompok-kelompok marjinal
Penyuluhan pertanian partisipatif seyogyanya berbasis pada pengetahuan, pengalaman dan kebutuhan petani. Oleh sebab itu, partisipasi aktif para petani, petugas lapangan dan pihak-pihak terkait lainnya merupakan hal yang sangat esensial pada semua tahapan. Partisipasi kaum wanita dan kelompok-kelompok terpinggirkan / tersingkir dalam masyarakat harus mendapatkan perhatian khusus. Pelembagaan mestinya difokuskan pada pemberdayaan petani dan Penyuluh Pertanian, sehingga mereka bisa terlibat aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan, dan membuat mekanisme yang memungkinkan proses ini bisa berjalan serta ikut merasakan inputnya. Kemitraan sejajar, pembagian tanggung jawab dan kekuatan merupakan hal yang inheren dalam pendekatan bottom-up.
Kepemerintahan yang baik
Untuk melakukan perbaikan terus menerus perlu lembaga pemerintah yang transparan dan bersih. Semua pihak harus terbuka untuk menerima masukan (kritik) dari orang lain, termasuk dari mereka yang berstatus sosial dan profesional lebih rendah. Jika tanpa keterbukaan dan praktek-praktek korupsi masih berlangsung, maka akan usaha-usaha perbaikan akan sia-sia belaka.
Holistik
Pelembagaan penyuluhan pertanian tidak hanya berfokus pada proses-proses ataupun metode-metode penyuluhan aktual semata (orientasi ekternal). Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah proses-proses internal, seperti manajemen, koordinasi dan komunikasi. Sebenarnya penyuluhan pertanian itu sendiri merupakan sesuatu yang multi disipliner dan tidak hanya berfokus pada salah satu sub-sektor atau aspek-aspek teknis saja.
Desentralisasi
Pelembagaan penyuluhan pertanian partisipatif adalah bagian inheren dari desentralisasi dan demokratisasi dan dapat memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat desa dan sistem perencanaan bottom-up yang baru. (Lihat juga 'bottom-up').



Read more.....

BUDIDAYA TERNAK KAMBING

1. PENDAHULUAN
Ternak kambing sudah lama diusahakan oleh petani atau masyarakat sebagai usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging, susu, kotoran maupun kulitnya) relatif mudah. Meskipun secara tradisional telah memberikan hasil yang lumayan, jika pemeliharaannya ditingkatkan (menjadi semi intensif atau intensif), pertambahan berat badannya dapat mencapai 50 - 150 gram per hari. Ada tiga hal pokok yang harus

diperhatikan dalam usaha ternak kambing, yaitu: bibit, makanan, dan tata laksana.

2. BIBIT
Pemilihan bibit harus disesuaikan dengan tujuan dari usaha, apakah untuk pedaging, atau perah (misalnya: kambing kacang untuk produksi daging, kambing etawah untuk produksi susu, dll). Secara umum ciri bibit yang baik adalah yang berbadan sehat, tidak cacat, bulu bersih dan mengkilat, daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan.
Ciri untuk calon induk:
1) Tubuh kompak, dada dalam dan lebar, garis punggung dan pinggang lurus,
2) tubuh besar, tapi tidak terlalu gemuk.
3) Jinak dan sorot matanya ramah.
4) Kaki lurus dan tumit tinggi.
5) Gigi lengkap, mampu merumput dengan baik (efisien), rahang atas dan
6) bawah rata.
7) Dari keturunan kembar atau dilahirkan tunggal tapi dari induk yang muda.
8) Ambing simetris, tidak menggantung dan berputing 2 buah.

Ciri untuk calon pejantan :
 Tubuh besar dan panjang dengan bagian belakang lebih besar dan lebih
 tinggi, dada lebar, tidak terlalu gemuk, gagah, aktif dan memiliki libido (nafsu)
 kawin) tinggi.
 Kaki lurus dan kuat.
 Dari keturunan kembar.
 Umur antara 1,5 sampai 3 tahun.


3. MAKANAN
Jenis dan cara pemberiannya disesuaikan dengan umur dan kondisi ternak. Pakan yang diberikan harus cukup protein, karbohidrat, vitamin dan mineral, mudah dicerna, tidak beracun dan disukai ternak, murah dan mudah diperoleh. Pada dasarnya ada dua macam makanan, yaitu hijauan (berbagai jenis rumput) dan makan tambahan (berasal dari kacang-kacangan, tepung ikan, bungkil kelapa, vitamin dan mineral).

Cara pemberiannya :
 Diberikan 2 kali sehari (pagi dan sore), berat rumput 10% dari berat badan kambing, berikan juga air minum 1,5 - 2,5 liter per ekor per hari, dan garam berjodium secukupnya.
 Untuk kambing bunting, induk menyusui, kambing perah dan pejantan yang sering dikawinkan perlu ditambahkan makanan penguat dalam bentuk bubur sebanyak 0,5 - 1 kg/ekor/hari.

4. TATA LAKSANA
1. Kandang
Harus segar (ventilasi baik, cukup cahaya matahari, bersih, dan minimal berjarak 5 meter dari rumah).
Ukuran kandang yang biasa digunakan adalah :
- Kandang beranak : 120 cm x 120 cm /ekor
- Kandang induk : 100 cm x 125 cm /ekor
- Kandang anak : 100 cm x 125 cm /ekor
- Kandang pejantan : 110 cm x 125 cm /ekor
- Kandang dara/dewasa : 100 cm x 125 cm /ekor

2. Pengelolaan reproduksi
Diusahakan agar kambing bisa beranak minimal 3 kali dalam dua tahun.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a) Kambing mencapai dewasa kelamin pada umur 6 s/d 10 bulan, dan sebaiknya dikawinkan pada umur 10-12 bulan atau saat bobot badan mencapai 55 - 60 kg.
b) Lama birahi 24 - 45 jam, siklus birahi berselang selama 17 - 21 hari.
c) Tanda-tanda birahi : gelisah, nafsu makan dan minum menurun, ekor sering dikibaskan, sering kencing, kemaluan bengkak dan mau/diam bila dinaiki.
d) Ratio jantan dan betina = 1 : 10

Saat yang tepat untuk mengawinkan kambing adalah :
a. Masa bunting 144 - 156 hari (5 bulan).
b. Masa melahirkan, penyapihan dan istirahat 2 bulan.

3) Pengendalian Penyakit
- Hendaknya ditekankan pada pencegahan penyakit melalui sanitasi kandang yang baik, makanan yang cukup gizi dan vaksinasi.
- Penyakit yang sering menyerang kambing adalah: cacingan, kudis (scabies), kembung perut (bloat), paru-paru (pneumonia), orf, dan koksidiosis.


4) Pasca Panen
- Hendaknya diusahakan untuk selalu meningkatkan nilai tambah dari produksi ternak, baik daging, susu, kulit, tanduk, maupun kotorannya. Bila kambing hendak dijual pada saat berat badan tidak bertambah lagi (umur sekitar 1 - 1,5 tahun), dan diusahakan agar permintaan akan kambing cukup tinggi.
- Harga diperkirakan berdasarkan : berat hidup x (45 sampai 50%) karkas x harga daging eceran.

5. CONTOH ANALISA USAHA TERNAK KAMBING
1) Pengeluaran
a. Bibit
- Bibit 1 ekor pejantan = 1 x Rp. 250.000,- Rp. 250.000,-
- Bibit 6 ekor betina = 1 x Rp. 200.000,- Rp. 1.200.000,-
Total Rp. 1.450.000,-
b. Kandang Rp. 500.000,-
c. Makanan Rp. 200.000,-
d. Obat-obatan Rp. 100.000,-
Total Pengeluaran Rp. 2.250.000,-
2) Pemasukan
a. Dari anaknya
Jika setelah 1 tahun, ke 6 produk menghasilkan 2 ekor, jumlah kambing yang bisa dijual setelah 1 tahun = 12 ekor.
Jika harga tiap ekor Rp. 150.000,- maka dari 12 ekor tersebut akan
dihasilkan : 12 x Rp. 150.000,- = Rp. 1.800.000,-
b. Dari induk
Pertambahan berat induk 50 gram per ekor per hari, maka setelah 2 tahun
akan dihasilkan pertambahan berat : 7 x 50 gr x 365 = 127,75 kg.
Total daging yang dapat dijual (7 x 15 kg) + 127,75 kg = 232,75 kg.
Pendapatan dari penjualan daging = 232,75 kg x Rp. 10.000,-=
Rp.2.327.500,-
c. Dari kotoran :
Selama 2 tahun bisa menghasilkan 70 karung x Rp. 1.000,- = Rp.
70.000,-
3) Keuntungan
a. Masuk:Rp.1.800.000+Rp. 2.327.500+Rp. 70.000 Rp. 4.197.500,-
b. Keluar:Rp.1.450.000+Rp.500.000+Rp.200.000+Rp.100.000 Rp. 2.250.000
c. Keuntungan selama 2 th: Rp. 4.197.500,- Rp. 2.250.000 Rp. 1.947.500,-
atau Rp. 81.145,- per bulan.
6. SUMBER
Brosur Ternak Kambing, Dinas Peternakan, Pemerintah DKI Jakarta, Jakarta



Read more.....

BUNCIS ( Phaseolus vulgaris L. )

I. UMUM
1.1. Sejarah Singkat
Kacang Buncis (Phaseolus vulgaris L.) berasal dari Amerika, sedangkan kacang buncis tipe tegak (kidney bean) atau kacang jogo adalah tanaman asli lembah Tahuacan-Meksiko. Penyebarluasan tanaman buncis dari Amerika ke Eropa dilakukan sejak abad 16. Daerah pusat penyebaran dimulai di Inggris (1594), menyebar ke negara-negara Eropa, Afrika, sampai ke Indonesia.
Pembudidayaan tanaman buncis di Indonesia telah

meluas ke berbagai daerah. Tahun 1961-1967 luas areal penanaman buncis di Indonesia sekitar 3.200 hektar, tahun 1969-1970 seluas 20.000 hektar dan tahun 1991 mencapai 79.254 hektar dengan produksi 168.829 ton.
1.2. Sentra Penanaman
Saat ini kacang buncis sudah ditanam di 26 propinsi di Indonesia (kecuali Timor Timur). Daerah sentra pertanaman yang termasuk enam besar secara berurut adalah: Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bengkulu, Sumatera Utara dan Bali. Sedangkan sentra kacang jogo terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan NTT, Bengkulu dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Daerah yang sejak lama menjadi sentra pertanaman buncis antara lain Kotabatu (Bogor), Pengalengan dan Lembang (Bandung) dan Cipanas (Cianjur). Sedangkan pusat terbesar pertanaman kacang ijo anatara lain daerah Garut (Jawa Barat).
1.3. Jenis Tanaman
Taksonomi tanaman buncis diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plant Kingdom
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiosspermae
Kelas : Dicotyledonae
Sub kelas : Calyciflorae
Ordo : Rosales (Leguminales)
Famili : Leguminosae (Papilionaceae)
Sub famili : Papilionoideae
Genus : Phaseolus
Spesies : Phaseolus vulgaris L.
Kacang buncis dan kacang jogo mempunyai nama ilmiah sama yaitu Phaseolus vulgaris L., yang berbeda adalah tipe pertumbuhan dan kebiasaan panennya. Kacang buncis tumbuh merambat (pole beans) dan dipanen polong mudanya, sedangkan kacang jogo (kacang merah) merupakan kacang buncis jenis tegak (tidak merambat) umumnya dipanen polong tua atau bijinya saja, sehingga disebut Bush bean.
Nama umum kacang buncis di pasaran internasional disebut Snap beans atau French beans, kacang jogo dinamakan Kidney beans.
1.4. Manfaat Tanaman
Peningkatan produksi buncis mempunyai arti penting dalam menunjang peningkatan gizi masyarakat, sekaligus berdaya guna bagi usaha mempertahankan kesuburan dan produktivitas tanah. Kacang buncis merupakan salah satu sumber protein nabati yang murah dan mudah dikembangkan.
Kacang jogo/kacang merah yang dikonsumsi bijinya, mengandung protein 21-27%, sehingga menu makanan yang terdiri atas campuran nasi dan kacang jogo (90%+10%) merupakan komposisi makanan yang mencukupi karbohidrat dan protein tubuh.

II. SYARAT PERTUMBUHAN
2.1. Iklim
a. Tanah yang cocok bagi tanaman buncis ternyata banyak terdapat di daerah yang mempunyai iklim basah sampai kering dengan ketinggian yang bervariasi.
b. Pada umumnya tanaman buncis tidak membutuhkan curah hujan yang khusus, hanya ditanam di daerah dengan curah hujan 1.500-2.500 mm/tahun.
c. Umumnya tanaman buncis memerlukan cahaya matahari yang banyak atau sekitar 400-800 feetcandles. Dengan diperlukan cahaya dalam jumlah banyak, berarti tanaman buncis tidak memerlukan naungan.
d. Suhu udara ideal bagi pertumbuhan buncis adalah 20-25 derajat C. Pada suhu < 20 derajat C, proses fotosintesis terganggu, sehingga pertumbuhan terhambat, jumlah polong menjadi sedikit. Pada suhu ³ 25 derajat C banyak polong hampa (sebab proses pernafasan lebih besar dari pada proses fotosintesis), sehingga energi yang dihasilkan lebih banyak untuk pernapasan dari pada untuk pengisian polong.
e. Kelembaban udara yang diperlukan tanaman buncis ± 55% (sedang). Perkiraan dari kondisi tersebut dapat dilihat bila pertanaman sangat rimbun, dapat dipastikan kelembapannya cukup tinggi.
2.2. Media Tanam
a. Jenis tanah yang cocok untuk tanaman buncis adalah andosol dan regosol karena mempunyai drainase yang baik. Tanah andosol hanya terdapat di daerah pegunungan yang mempunyai iklim sedang dengan curah hujan diatas 2500 mm/tahun, berwarna hitam, bahan organiknya tinggi, berstektur lempung hingga debu, remah, gembur dan permeabilitasnya sedang. Tanah regosol berwarna kelabu, coklat dan kuning, berstektur pasir sampai berbutir tunggal dan permeabel.
b. Sifat-sifat tanah yang baik untuk buncis: gembur, remah, subur dan keasaman (pH) 5,5-6. Sedangkan yang ditanam pada tanah pH < 5,5 akan terganggu pertumbuhannya (pada pH rendah terjadi gangguan penyerapan unsur hara). Beberapa unsur hara yang dapat menjadi racun bagi tanaman antara lain: aluminium, besi dan mangan.
2.3. Ketinggian Tempat
Tanaman buncis tumbuh baik di dataran tinggi, pada ketinggian 1000-1500 m dpl. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan untuk ditanam pada daerah dengan ketinggian antara 300-600 meter. Dewasa ini banyak dilakukan penelitian mengenai penanaman buncis tegak di dataran rendah ketinggian: 200-300 m dpl., dan ternyata hasilnya memuaskan. Beberapa varietas buncis tipe tegak seperti Monel, Richgreen, Spurt, FLO, Strike dan Farmers Early dapat ditanam di dataran rendah pada ketinggian antara 200-300 m dpl.

III. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
3.1. Pembibitan
3.1.1. Persyaratan Benih/Bibit
Apabila akan mengusahakan suatu usaha pertanaman, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah pemilihan benih. Benih yang digunakan harus benar-benar benih yang baik. Benih yang baik berasal dari pohon induk yang baik. Benih yang baik harus mempunyai persyaratan tertentu yakni: mempunyai daya tumbuh minimal 80-85%, bentuknya utuh, bernas, warna mengkilat, tidak bernoda coklat terutama pada mata bijinya, bebas dari hama dan penyakit, seragam, tidak tercampur dengan varietas lain, serta bersih dari kotoran. Benih yang baik mempunyai daya tumbuh yang tinggi, dapat disimpan lama, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, tumbuhnya cepat dan merata, serta mampu menghasilkan tanaman dewasa yang normal dan berproduksi tinggi.
3.1.2. Penyiapan Benih
Memilih benih yang baik agak sulit. Karena itu disarankan untuk membeli benih yang bersertifikat. Benih ini telah diuji coba oleh balai pengujian benih, sehingga dijamin kualitasnya. Benih bersertifikat telah banyak dijual ditoko-toko sarana pertanian.
Benih buncis yang dibutuhkan dalam jumlah tertentu, tetapi kadang-kadang benih yang dibeli jumlahnya melebihi yang dibutuhkan. Sehingga, masalahnya sekarang adalah bagaimana menyimpan kelebihan benih itu. Cara menympannya dengan memberi suhu 18-20 derajat C dengan kelembaban relatif 50-60 %. Kandungan air benih juga sangat menentukan terhadap keawetan simpan benih. Kandungan yang baik untuk menyimpan benih sekitar 14%. Bila persyaratan diatas terpenuhi maka daya simpan benih buncis dapat mencapai 3 tahun.

3.2. Pengolahan Media Tanam
3.2.1. Pembukaan Lahan
Pengolahan lahan adalah semua pekerjaan yang ditujukan pada tanah untuk menciptakan media tanam yang ideal, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Pembersihan rumput-rumputan, penggemburan tanah, dan pembuatan parit-parit drainase adalah termasuk pengolahan tanah.
Pembersihan rumput-rumputan (gulma) bermaksud agar tidak terjadi persaingan makanan dengan tanaman pokoknya. Cara membersihkannya dapat secara manual, yaitu dengan jalan mencabut gulma dengan tangan, cangkul, cetok atau traktor (bila lahannya luas). Pemberantasan dengan bahan kimia juga dapat dilakukan, yaitu dengan menyemprotkan herbisida. Penyemprotannya dapat dilakukan setelah gulma tumbuh ataupun sebelum tumbuh. Gulma jenis Cynodon dactylon disemprot dengan herbisida Actril DS, dengan dosis 1,5-2 liter dalam 400 liter air/ha, pada tinggi tanaman 10-15 cm. Untuk gulma Boreria alata, dapat diberantas dengan herbisida Fernimine 720 AS. Dosis yang digunakan 1-1,5 liter yang dilarutkan dalam 500 liter air. Jenis rumput Eluisine indica lebih baik menggunakan Fusilade 25 EC dengan doiss 1-2 liter dengan campuran air sebanyak 400-600 liter. Herbisida lain yang dapat dipakai adalah Goal 2E, Lasso 480 EC, Paracol, Roundup, Satunil 400/200 EC, Saturin 500/50 EC dengan dosis seperti yang tercantum dalam labelnya.
Setelah bersih dari gulma pekerjaan selanjutnya adalah membajak tanah. Tanah dibajak dan dicangkul 1-2 kali sedalam 20-30 cm. Untuk tanah-tanah berat pencangkulan dilakukan dua kali dengan jangka waktu 2-3 minggu, untuk tanah-tanah ringan pencangkulan cukup dilakukan sekali saja.
3.2.2. Pembuatan Bedengan
Selanjutnya untuk memudahkan pekerjaan pemeliharaan dibuat bedengan-bedengan dengan ukuran panjang 5 meter, lebar 1 meter dan tinggi 20 cm. Jarak antar bedengan 40-50 cm, selain sebagai jalan juga untuk saluran pembuangan air (drainase). Untuk areal yang tidak begitu luas, mislnya tanah pekarangan, tidak dibuat bedengan tetapi menggunakan guludan tanah selebar 20 cm, panjang 5 meter, tinggi 10-15 cm dan jarak antar guludan 70 cm.
3.2.3. Pengapuran
Umumnya tanah di Indonesia bersifat asam (pH <7). Untuk menaikkan pH tersebut diperlukan pengapuran, menggunakan batu kapur kalsit, gips, kadolomite, atau batu kapur talk. Dosis untuk menaikan pH sebesar 0,1 sebesar 480 kg/ha. Pemberian kapur sebaiknya dilakukan 2-3 minggu sebelum penanaman, dengan cara sebagai berikut:
a) Tanah digemburkan dengan mencakulnya.
b) Kapur disebar merata.
c) Tanah dicangkul kembali agar kapur dapat bercampur dengan tanah secara merata.
3.2.4. Pemupukan
Untuk meningkatkan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pemberian pupuk kandang atau kompos sebanyak 15-20 kg/10 m2 atau kira-kira 3 kaleng penuh bekas minyak tanah. Pemberian pupuk kandang dimaksudkan untuk memperbaiki struktur tanah agar lebih gembur, airasi dan drainase lebih baik. Pupuk anorganik yang berfungsi sebagai pupuk dasar adalah Urea, TSP dan Kcl. Masing-masing sebanyak 200 kg, 600 kg, dan 120 kg untuk tiap hektar. Cara menempatkan pupuk kandang maupun pupuk anorganik ialah dengan menaburkan disepanjang larikan.
Saat pemberian pupuk dasar, dapat juga dilakukan pemberian mematisida. Mematisida ini merupakan pestisida untuk nematoda. Nematoda Meloidogyne sp. Yang sering menyerang buncis dapat diberantas dengan nematisida Curater 3 G atau Furadan 3 G. Dosis yang digunakan sebanyak 17 kg/ha.

3.3. Teknik Penanaman
Air yang dibutuhkan buncis hanya secukupnya, sehingga saat menanam yang paling baik yaitu saat peralihan. Hal ini sangat cocok untuk fase pertumbuhan buncis, dan fase pengisian serta pemasakkan polong. Pada fase ini di khawatirkan akan terjadi serangan penyakit bercak bila curah hujannya terlalu tinggi. Untuk mengatasi curah hujan yang terlalu tinggi dapat dibuat saluran-saluran drainase, ini kalau penanamannya dilakukan pada musim hujan. Sebaliknya, pada musim kemarau perlu dilakukan penyiraman sesering mungkin terutama pada saat awal perkecambahan.
3.3.1. Penentuan Pola Tanam
Tanaman buncis ditanam dengan pola pagar atau barisan karena penanamannya dilakukan pada bedengan atau guludan. Pada pola ini, jarak antar tanaman lebih sempit daripada jarak antar barisan tanamannya. Dengan pola tanam barisan akan mempermudah pekerjaan selanjutnya, seperti pemeliharaan, pengairan, pemupukan, pembumbunan dan panen.
Jarak tanaman yang digunakan adalah 20 x 50 cm, baik untuk tanah datar atau tanah miring. Dan bila kesuburan tanahnya tinggi, maka sebaiknya menggunakan jarak tanam yang lebih sempit lagi, yaitu 20 x 40 cm. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tumbuhnya gulma, karena gulma akan lebih cepat tumbuh pada tanah yang subur. Penentuan jarak tanam ini harus benar-benar diperhatikan karena berhubungan dengan tersedianya air, hara dan cahaya matahari.

3.3.2. Pembuatan Lubang Tanam
Setelah menentukan jarak tanam, kemudian membuat lubang tanam dengan cara ditugal. Agar lubang tanam itu lurus, sebelumnya dapat diberi tanda dengan ajir, bambu, penggaris atau tali. Tempat yang diberi tanda tersebut juga ditugal. Kedalaman tugal 4-6 cm untuk tanah-tanah yang remah dan gembur, sedangkan untuk tanah liat dapat digunakan ukuran 2-4 cm. Hal ini disebabkan pada tanah liat kandungan airnya cukup banyak, sehingga dikhawatirkan benih akan busuk sebelum mampu berkecambah.
3.3.3. Cara Penanaman
Tanaman buncis tidak memerlukan persemaian karena termasuk tanaman yang sukar dipindahkan, sehingga benih buncis dapat langsung ditanam di lahan/kebun. Tiap lubang tanam dapat diisi 2-3 butir benih. Setelah itu lubang tanam ditutup dengan tanah.

3.4. Pemeliharaan Tanaman
3.4.1. Penyulaman
berikutnya Biji buncis dapat tumbuh setelah lima hari sejak tanam, benih yang tidak tumbuh harus segera diganti (disulam) dengan benih yang baru. Penyulaman sebaiknya dilakukan dibawah umur 10 hari setelah tanam, agar pertumbuhan bibit-bibit tidak berbeda jauh dan memudahkan pemeliharaan.
3.4.2. Pengguludan
Peninggian guludan atau bedengan dilakukan pada saat tanaman berumur lebih 20 dan 40 hari. Lebih baik dilakukan pada saat musim hujan. Tujuan dari peninggian guludan adalah untuk memperbanyak akar, menguatkan tumbuhnya tanaman dan memelihara struktur tanah.
3.4.3. Pemangkasan
Untuk memperbanyak ranting-ranting agar diperoleh buah yang banyak, tanaman buncis perlu dipangkas. Pemangkasan sebatas pembentukan sulurnya. Pelaksanaan pemangkasan dilakukan bila tanaman telah berumur 2 dan 5 minggu. Pemang-kasan juga dimaksudkan untuk mengurangi kelembapan di dalam tanaman sehingga dapat menghambat perkembangan hama penyakit. Pucuk-pucuk tanaman hasil pangkasan dapat digunakan sebagai sayuran.
3.4.4. Pemupukan
Tindakan pemupukan pada tanaman buncis perlu dilakukan dengan alasan hara tanaman yang disediakan oleh tanaman dalam jumlah yang terbatas. Sewaktu-waktu zat hara akan berkurang karena tercuci kadalm lapisan tanah, terbawa erosi bersama larutan tanah, hilang melalui proses evaporasi (penguapan), dan diserap oleh tanaman. Apabila keadaan tersebut dibiarkan terus menerus tanpa adanya perbaikan, maka makin lama persediaan hara dalam tanah makin berkurang sehingga tanaman tumbuhnya merana. Untuk mencukupi kebutuhan hara tersebut, perlu tambahan dari luar melalui pemupukan. Diharapkan dengan pemupukan akan mengembalikan dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah, sehingga tanaman akan tumbuh subur dan produksinya akan melimpah.
Pemupukan ini dapat dilakukan pada umur 14-21 hari setelah tanam. Pupuk yang diberikan hanyalah Urea sebanyak 200 kg/ha, caranya cukup ditunggal kurang lebih 10 cm dari tanaman. Setelah itu ditutup kembali dengan tunggal atau diinjak dengan kaki.
3.4.5. Pengairan
Air yang diberikan alam sangat bervariasi dan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Untuk itu, diperlukan pengaturan pengairan. Biasanya pengairan dilakukan bila penanamannya dilakukan pada musim kemarau, yaitu pada umur 1-15 hari. Pelaksanaannya dilakukan 2 kali sehari, setiap pagi dan sore. Bila penanamannya dilakukan pada musim hujan, yang perlu diperhatikan adalah masalah pembuangan airnya. Kelebihan air dapat disalurkan melalui parit-parit yang telah dibuat di antara bedengan atau guludan.
3.4.6. Pemeliharaan Lain
Untuk tanaman buncis tipe merambat perlu diberi turus atau lanjaran, supaya pertumbuhannya dapat lebih baik. Biasanya turus atau lanjaran ini dibuat dari bambu dengan ukuran panjang 2 m dan lebar 4 cm. Turus tersebut ditancap didekat tanaman. Setiap dua batang turus yang berhadapan diikat menjadi satu pada bagian ujungnya, sehingga akan tampak lebih kokoh. Pelaksanaan pemasangan turus dapat dilakukan bersamaan dengan peninggian guludan yang pertama, yaitu pada tanaman berumur 20 hari.

3.5. Hama dan Penyakit
3.5.1. Hama
a. Kumbang daun
Penyebab: kumbang Henose-pilachna signatipennis atau Epilachna signatipennis, sering disebut kumbang daun epilachna yang termasuk famili Curculionadae. Bentuk tubuhnya oval, warna merah atau coklat kekuningan, panjang antara 6-8 mm. Pengendalian: (1) bila sudah terlihat adanya telur, larva, maupun kumbangnya, maka dapat langsung dibunuh dengan tangan; (2) dengan insektisida Lannate L dan Lannate 25 WP, dengan konsentrasi 1,5-3 cc/liter air atau 300-600 liter setiap hektar; (3) rotasi tanaman dengan tanaman yang bukan inang.
b. Penggerek daun
Penyebab: ulat Etiella zinckenella yang termasuk dalam famili Pyralidae. Penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis. Gejala: polong yang masih muda mengalami kerusakan, bijinya banyak yang keropos. Kerusakkan ini tidak sampai mematikan tanaman buncis. Pengendalian: penyemprotan dengan insektisida Atabron 50EC dengan konsentrasi 12-15 cc/10 liter air. Setiap satu hektar diperlukan 500 liter larutan semprot. Waktu penyemprotan dilakukan segera setelah diketahui adanya serangan dan dapat diulangi beberapa kali menurut keperluan. Selain Atrabon dapat pula dipilih insektisida lain, seperti Agrothion 50 EC, Basbiman 200 EC dan Bayrusil 250 EC dengan konsentrasi seperti yang tercantum pada labelnya.
c. Lalat kacang
Penyebab: lalat Agromyza phaseoli yang termasuk dalam famili Agromyzidae. Lalat betina dan jantan mempunyai ukuran yang berbeda. Lalat betina mempunyai panjang tubuh kurang lebih 2,2 mm, sedang yang jantan hanya 1,9 mm. Gejala: daun berlubang-lubang dengan arah tertentu, yaitu dari tepi daun menuju tangkai atau tulang daun. Gejala lebih lanjut berupa pangkal batang yang membengkok atau pecah. Kemudian tanaman menjadi layu, berubah kuning, dan akhirnya mati dalam umur yang masih muda. Apabila tidak mengalami kematian, maka tumbuhnya kerdil, sehingga produksinya sedikit. Pengendalian: hendaknya dilakukan sedini mungkin, yaitu pada saat pengolahan tanah. Setelah biji-biji buncis ditanam sebaiknya lahan langsung diberi penutup dari jerami daun pisang. Penanaman dilakukan secara serentak. Bila tanaman sudah terserang secara berat, maka segeralah dicabut dan dibakar atau dipendam dalam tanah. Namun, apabila serangan masih kecil, disarankan agar menggunakan insektisida. Penyemprotan yang lebih baik dilakukan pada saat buncis baru mulai tumbuh, yaitu saat mulai kelihatan kepingnya. Insektisida yang digunakan seperti Basminon 60 EC dengan konsentrasi formulasi 1,5-2 cc/liter air dan Azordin 60 dengan konsentrasi 2-3 cc/liter air atau kira-kira 400-600 larutan setiap hektarnya. Penyemprotan dilakukan sebanyak 2-3 kali sampai umur 20 hari, tergantung berat ringan serangan.
d. Kutu daun
Penyebab: Aphis gossypii, yang termasuk dalam famili Aphididae. Sifatnya polibag dan kosmopolitan yaitu dapat memakan segala tanaman dan tersebar di seluruh dunia. Tanaman inangnya bermacam-macam, antara lain kapas, semangka, kentang, cabai, terung, bunga sepatu dan jeruk. Warna kutu ini hijau tua sampai hitam atau kuning coklat. Gejala: pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan batang memutar (memilin), daun menjadi keriting dan berwarna kuning. Pengendalian: (1) secara alami, yaitu dengan cara memasukkan musuh alaminya, antara lain lembing, lalat dan jenis Coccinellidae; (2) menggunakan insektisida Orthene 75 SP dengan konsentrasi 0,5-0,8 gram/liter air. Bila setelah disemprotkan masih terdapat hamanya, maka penyemprotannya dapat diulang setiap 7-14 hari sekali. Selain Orthene dapat juga digunakan Sevidan 70 WP atau Supracide 40 EC.
e. Ulat jengkal semu
Penyebab: ulat jengkal semu. Ada dua dua spesies yang terdapat diperkebunan buncis, yaitu Plusia signata (Phytometra signata) dan P. chalcites. Keduanya termasuk kedalam famili Plusiidae. Panjang ulat P. chalcites kurang lebih 2 cm berwarna hijau dengan garis samping berwarna lebih muda. Gejala: (1) daun-daun berlubang; (2) tanaman menjadi kerdil. Pengendalian: (1) secara mekanik, yaitu dibunuh satu persatu, namun tidak efektif; (2) sanitasi, yaitu dengan membersihkan gulma-gulma yang dapat dijadikan sebagai tempat persembunyian hama tersebut; (3) dengan insektisida Hostathion 40 EC sangat efektif karena mempunyai cara kerja ganda, yaitu sebagai racun kontak dan racun lambung. Insektisida ini mempunyai daya basmi 2-3 minggu, Konsentrasi formulasi yang digunakan 1-1,5 cc/liter air dan volume larutan semprot kira-kira 400-600 liter/ha. Dapat juga menggunakan Lannate 25 WP dan Lebaycid 550 EC. Penyemprotan dilakukan bila intensitas serangan mencapai 12,5%.
f. Ulat penggulung daun
Penyebab: ulat Lamprosema indicata dan L. diemenalis, keduanya termasuk dalam famili Pyralidae. Gejala: daun kelihatan seperti menggulung dan terdapat ulat yang dilindungi oleh benang-benang sutra dan kotoran. Polongan sering pula ikut direkatkan bersama-sama dengan daunnya. Daun juga tampak berlubang-lubang bekas gigitan dari tepi sampai ketulang utama, hingga habis hanya tinggal urat-uratnya saja. Pengendalian: (1) membuang dan membakar daun yang telah terkangkit; (2) penyemprotan pestisida Azordrin 15 WSC dengan konsentrasi 2-3 cc/liter air, Kiltop 50 EC dengan konsentrasi 4-5 cc/liter air, atau Matador 25 EC dengan konsentrasi 5 ml/ 10 liter air. Setiap hektar kira-kira memerlukan volume 400-600 liter larutan. Penyemprotan dapat diulang setiap 7 hari sampai tanaman terbebas dari hama tersebut.
3.5.2. Penyakit
a. Penyakit antraknosa
Penyebab: cendawan Colletotrichum lindemuthianum, termasuk dalam famili Melanconiaccae.. Gejala: (1) terdapat bercak-bercak kecil berwarna coklat karat pada polong buncis muda; (2) bercak hitam atau coklat tua di bagian batang tanaman tua. Pengendalian: (1) memakai benih yang benar-benar bebas dari penyakit; (2) merendam benih dalam fungsida Agrosid 50 SD sebelum ditanam. Cara merendamnya ialah beberapa jam sebelum benih ditanam dibasahi dulu dengan air. Kemudian dimasukkan ke kantong plastik dan dicampur dengan Agrosid 50 SD sebanyak 10-15 gram/kg benih. Setelah itu dikocok sampai rata kemudian diangin-anginkan; (3) pergiliran tanaman, maksudnya untuk memotong siklus hidup cendawan tersebut. Pergiliran tersebut dapat dengan tanaman lobak, wortel atau kol bunga; (4) penyemprotan fungsida Delsene MX-2000, konsentrasinya 1-2 gram/liter air. Fungsida ini bersifat kontak dan sistemik sehingga bisa disemprotkan sebelum atau sesudah terjadi serangan. Fungsida Velimek 80 WP juga dapat digunakan dengan konsentrasi 2-2,5 gram/liter air. Volume larutan semprot kurang leboh 400-800 liter/ha. Pemberiannya dapat diulang setiap 7-10 hari sekali. Supaya daya kerjanya efektif, dapat ditambahkan bahan perata atau pembasah. Bahan perata yang dipakai seperti Agristck atau Triton dengan dosis 2 cc/liter atau 2 gram/liter air.
b. Penyakit embun tepung
Penyebab: cendawan Erysiphe polygoni, yang termasuk dalam famili Erysiphaceae. Gejala: daun, batang, bunga dan buah berwarna putih keabuan (seperti beludru). Apabila serangan pada bunga ringan, maka polong masih dapat terbentuk. Namun bila gagal serangannya berat akan dapat menggagalkan proses pembuahan, bunga menjadi kering dan akhirnya mati. Bila polong yang diserang maka polong tidak gugur, tetapi akan meninggalkan bekas berwarna cokelat surat sehingga kualitasnya menurun. Pengendalian: (1) bagian-bagian yang sudah terserang sebaiknya dipotong atau dibakar; (2) dapat juga disemprot dengan fungsida Morestan 25 WP, konsentrasinya 0,5-1 gram/liter air dan volume larutan 1.000 liter/ha. Penyemprotannya dapat diulang 1-2 minggu sekali. Fungsida lain adalah Nimrod 250 EC dengan konsentrasi 0,4-1,6 ml/liter air, Cupravit OB 21 dengan konsentrasi 1 gram/liter air dan dengan volume semprot 500 liter/ha. Atau dapat juga dilakukan penghembusasn dengan tepung belerang.
c. Penyakit layu
Penyebab1: bakteri Pseudomonas sollanacearum. Bakteri ini termasuk dalam famili pseudomonadeceae. Gejala: tanaman akan terlihat layu, menguning dan kerdil. Bila batang tanaman yang terserang dipotong melintang, maka akan terlihat warna cokelat dan kalau dipijit keluar lendir berwarna putih. Kadang-kadang warna cokelat ini bisa sampai ke daun. Akar yang sakit juga berwarna cokelat. Pengendalian: (1) penyiraman tanaman dengan air yang bebas dari penyakit; (2) dengan rotasi tanaman selama 2 tahun; (3) penyemprotan dengan fungsida Agrept 20 WP dengan konsentrasi 0,5-1 gram/liter air. Penyebab2: Penyebab layu dengan gejala diatas disebabkan oleh cendawan Fusarium oxyporum, termasuk dalam famil Stilbellaceae. Gejala 2: Gejala yang terlihat seperti gejala 1 di atas dengan sedikit perbedaan. Perbedaannya yaitu bila batang yang terserang dipijit tidak mengeluarkan lendir. Pengendalian: cara pengendalian hampir sama dengan cara pengendalian Pseudomonas, bedanya hanya jenis fungsida yang dipakai. Untuk mengendalikan cendawan ini dapat digunakan fungsida Dithane M 45 dengan dosis 180-240 gram/100 liter air. Fungsida ini disemprotkan pada semua batang merata.
d. Penyakit bercak daun
Penyebab: cendawan Cercospora canescens, termasuk dalam famili Dematiaceae. Sporanya dapat disebarkan melalui air hujan, angin, serangga, alat-alat pertanian, manusia dan lain-lain. Gejala: Daun berbercak-bercak kecil berwarna cokelat kekuningan. Lama-kelamaan bercak akan melebar dan bagian tepinya terdapat pita berwarna kuning. Akibat lebih parah, daun menjadi layu lalu berguguran. Bila sampai menyerang polong, maka polong berbercak kelabu dan biji yang terbentuk kurang padat dan ringan. Pengendalian: (1) sebelum ditanam benih buncis direndam air panas dengan suhu 48 derajat C selama 30 menit; (2) rotasi tanaman; (3) rotasi tanaman (4) memotong bagaian tanaman yang telah terserang; (5) penyemprotan dengan Baycor 300 EC konsentrasi 0,5-1 liter/ha, Bayleton 250 EC konsentrasi 0,25-0,5 liter/ha, volume semprot tiap hektarnya kurang lebih 400 liter. Dapat juga menggunakan Cupravit OB 21, Daconil 75 WP, Delsene MX-200 dengan konsentrasi sesuai labelnya. Penyemprotan diulang dengan selang waktu 5-15 hari.
e. Penyakit hawar daun
Penyebab: bakteri Xanthomonas campestris dari famili Pseudomonadaceae. Bakteri ini dapat berkembang pada suhu lebih dari 20 derajat C dan suhu optimum 30 derajat C. Hidupnya bisa bertahan beberapa tahun di dalam biji, tanah dan sisa-sisa tanaman yang sakit. Gejala: Pertama-tama terlihat bercak kuning di bagian tepi daun, kemudian meluas menuju tulang daun tengah. Daun terlihat layu, kering dan berwarna cokelat kekuningan. Bila serangannya hebat, daun berwarna kuning seluruhnya dan akhirnya rontok. Kemudian gejala tersebut dapat meluas ke batang, sehingga lama-kelamaan tanaman akan mati. Pengendalian: ( memakai benih yang bebas dari penyakit; (2) menjaga kebersihan lahan.
f. Penyakit busuk lunak
Penyebab: bakteri Erwinia carotopora, termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini hanya menyerang bila ada bagian tanaman yang luka, misalnya gigitan ulat atau memang sudah sakit karena penyakit lain. Serangan ini dapat terjadi di lapangan atau di penyimpanan.
Gejala: Daun berbercak, berair dan warnanya menjadi kecokelatan. Gejala ini akan cepat menjalar ke seluruh bagian tanaman sehingga tanaman menjadi lunak, berlendir dan berbau busuk. Kadang-kadang juga bisa roboh bila yang terserang batangnya. Pengendalian: (1) membakar dan membuang tanaman yang telah terjangkit penyakit; (2) menjaga kebersihan lingkungan tanaman; (3) penyemprotan Cupravi OB-21 dengan konsentrasi 4 gram/liter air, Delsene MX 200 konsentrasi 2-3 cc/liter dan Difolatan 4 F dengan konsentrasi 2-3 cc/liter air. Penyemprotan dapat dilakukan setiap 7-10 hari sekali. Penggunaan pestisida dapat dengan dioleskan pada bagian tanaman yang sakit.
g. Penyakit karat
Penyebab: cendawan Uromyces appendiculatus, termasuk dalam ordo Uredinales. Cendawan ini masih dapat bertahan pada bagian tanaman yang sakit walaupun iklimnya kering. Serangan akan kembali menghebat pada musim hujan. Penyebarannya dapat melalui hembusan angin, percikan atau aliran air, serangga maupun terbawa dalam pengangkutan bibit-bibit tanaman di daerah lain. Gejala: Pada jaringan daun terdapat bintik-bintik kecil berwarna cokelat baik dipermukaan daun sebelah atas maupun bawah dan biasanya dikelilingi oleh jaringan khlorosis. Pada varietes yang tahan, gejalanya hanya berupa bintik-bintik cokelat saja. Pengendalian: (1) menanam bibit buncis yang tahan terhadap penyakit karat, yaitu manoa wonder; (2) mencabut dan membakar tanaman yang telah terjangkit; (3) menggunakan fungisida Baylleton 250 EC dengan dosis 0,25-0,5 liter/ha dan voleume larutan 500 liter/ha. Penyemprotannya dilakukan bila intensitas serangan mencapai 10% dengan selang waktu 7 hari.
h. Penyakit Damping Off
Penyebab: cendawan Phytium sp, termasuk dalam famili Phytiaceae. Penularannya dapat melalui tanah maupun biji. Serangannya akan sangat hebat bila suhu dan kelembaban udara cukup tinggi. Gejala: Bagian batang yang terletak di bawah keping biji (hipokotil) berwarna putih pucat karena mengalami kerusakan klorofil. Akibatnya terjadi nekrosa secara cepat, jaringan yang berada di atas tanah menjadi mengkerut dan mengecil sehingga batang tidak kuat lagi menyangga kotiledon dan kemudian tanaman menjadi roboh. Pengendalian: (1) menyiram tanaman denganair yang bebas penyakit; (2) menyemprotkan Antracol 70 WP konsentrasi 2 gram/liter, Volume larutan 600-8 l/ha. Fungisida Cupravit OB 21, Delsene MX-200, dimazeb 80 WP, Dithane M45 juga dapat digunakan, dengan konsentrasi seperti yang tercantum dalam labelnya.
i. Penyakit ujung keriting
Penyebab: virus mosaik keriting, yang penularannya biasanya melalui vektor serangga yaitu sejenis kutu loncat dari famili Yassidae. Dari tingkat muda sampai dewasa, kutu ini dapat menjadi pembawa (carrier) virus tersebut. Gejala: Daun-daun muda menjadi keriting dan berwarna kuning, sedang daun yang sudah tua menggulung atau memilin. Biasanya daun-daun terasa lebih kaku, tangkai daun mengeriting ke bawah dan batang tidak normal. Tanaman muda yang terserang menjadi kerdil. Pengendalian: (1) menanam bibit yang tahan penyakit seperti spurt dan strike; (2) mencabut dan membakar tanaman yang telah terserang penyakit; (3) melakukan penyemprotan jenis-jenis insektisida yang dapat membunuh serangga vektornya. Misalnya, Alsystin 25 WP dengan dosis 0,25-0,5 kg/ha yang dilarutkan dalam 500-800 liter air. Atau, menggunakan Azordrin 15 WSC, Bayrusil 250 EC, dan Lannate.

3.6. Panen
3.6.1. Ciri dan Umur Panen
Pemanenan dapat dilakukan saat tanaman berumur 60 hari dan polong memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:
a) Warna polong agak muda dan suram.
b) Permukaan kulitnya agak kasar.
c) Biji dalam polong belum menonjol.
d) Bila polong dipatahkan akan menimbulkan bunyi letup.
3.6.2. Cara Panen
Dalam menentukan saat panen harus setepat mungkin sebab bila sampai terlambat memetiknya beberapa hari saja maka polong bincis dapat terserang penyakit bercak Cercospora. Penyakit tersebut sebenarnya hanya menyerang daun dan bagian tanaman lainnya, tetapi karena saat pemetikan yang terlambat maka penyakit tersebut berkembang sampai ke polong-polongnya.
Cara panen yang dilakukan biasanya dengan cara dipetik dengan tangan. Penggunaan alat seperti pisau atau benda tajam yang lain sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan luka pada polongnya. Kalau hal ini terjadi maka cendawan atau bakteri dapat masuk kedalam jaringan, sehingga kualitas polong menurun.
3.6.3. Periode Panen
Pelaksanaan panennya dapat dilakukan secara bertahap, yaitu setiap 2-3 hari sekali. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh polonh yang seragam dalam tingkat kemasakkannya. Pemetikan dihentikan pada saat tanaman berumur lebih dari 80 hari, atau kira0kira sejumlah 7 kali panen.
3.6.4. Prakiraan Produksi
Bila dalam pelaksanaan budidaya tanaman buncis sudah baik, artinya sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan diatas maka produksi perhektar dapat mencapai 150 kuintal polong segar.

3.7. Pascapanen
3.7.1. Sortasi
Sortasi meliputi kegiatan-kegiatan membuang atau memisahkan hasil berdasarkan kualitas dan mengadakan klarifikasinya. Polong buncis yang cacat akibat serangan hama dan penyakit, polong yang tua maupun polong yang patah akibat panen yang kurang baik, semuanya kita pisahkan. Polong-polong yang demikian hanya akan mengurangi nilai pasar dan nilai beli dari komoditi tersebut.
Proses sortasi ini biasanya dilakukan ditempat-tempat pengumpulan yang diletakkan tidak jauh dari lahan pertanian. Tempat dilakukannya sortasi ini harus cukup terlindung, supaya hasil yang baru dipanen tidak lekas menjadi layu.
3.7.2. Penyimpanan
Buncis termasuk sejenis sayuran yang tidak tahan disimpan lama dalam keadaan segar, cepat rusak atau busuk sehingga disebut sebagai perishable food. Hal ini terjadi karena setelah dipanen masih terjadi respirasi dan transpirasi sehingga lama kelamaan komoditi ini mengalami kemunduran (deterioration). Dengan kemunduran tersebut menyebabkan komoditi menjadi lebih peka terhadap serangan jasad renik sehingga komoditi menjadi rendah mutunya dan akhirnya membusuk.
Mengingat sifat buncis tersebut maka diperlukan penyimpanan khusus bila buncis tidak langsung dikonsumsi. Cara penyimpanan yang biasa dilakukan adalah sistem refrigarasi (pendinginan), dengan suhu 0-4,4 derajat C dan kelembaban 85-90%. Pada keadaan yang demikian, maka umur kesegaran buncis bisa mencapai 2-4 minggu. Ruangan penyimpanan diusahakan agar udara segar dapat beredar dan selalu berganti.
Yang menjadi masalah adalah, masih ada sebagian orang yang beranggapan bahwa dengan suhu dan kelembaban yang lebih rendah lagi akan menghasilkanumur kesegaran yang lebih lama pula. Padahal pendapat ini kurang benar pula. Penyimpanan pada suhu yang lebih rendah dengan suhu yang dianjurkan memberikan hasil yang sama, sedangkan kelembaban yang terlampau rendah, akan menyebabkan komoditi menjadi cepat layu.
3.7.3. Pengepakkan/Pengemasan
Pada umumnya pengepakkan buncis dilakukan dengan menggunakan karung goni. Untuk pengiriman jarak jauh ke luar negri lebih baik menggunakan peti kayu, ukuran dan bentuknya sebaiknya seragam supaya kelihatan rapi. Hal yang harus diperhatikan dalam membuat alat mengepak yaitu harus mempunyai lubang angin untuk memungkinkan pergantian udara di dalam pengepak dan mudah diangkut oleh satu orang.
Setelah dilakukan pengepakan, maka jangan lupa menuliskan nama pengusaha, nama komoditi, serta keterangan lain yang dibutuhkan pada alat pengepak. Kebiasan buruk berupa pemberian kode nama pemilik hendaknya dihilangkan, sebab yang mengenal kode tersebut hanya perwakilan si pengusaha atau pedagang itu sendiri.
Dengan pengepakan yang baik, banyak keuntungan yang diperoleh, antara lain dalam pengangkutan, komoditi akan terlindung dari kerusakan fisik, mudah dalam penghitungannya dan mudah dalam penyusunan baik di dalam alat pengangkut maupun di dalam gudang penyimpanan.

Biasanya pengangkutan hasil panen dilakukan sesuai dengan tujuan pengirimnya. Pengangkutan dengan volume kecil dan ditujukan kepedagang-pedagang setempat dapat dilakukan dengan tenaga manusia, hewan atau kendaran bermotor. Pengangkutan dalam jarak jauh dengan volume yang lebih besar dapat menggunakan kapal, kereta api, atau pesawat terbang. Dalam memilih alat pengangkutan ini, yang penting adalah kelancaran atau cepatnya sampai tujuan dan dipilih yang biayanya murah. Selain itu alat tersebut harus bebas dari bau-bauan karena dapat meresap ke dalam hasil yang diangkut.
Dalam menyusun karung maupun peti harus teratur, terutama yang menyangkut letak dan tinggi susunan. Letak susunan karung hendaknya diberi antara sehingga peredaran udara akan lebih leluasa. Tinggi susunan juga diperhatikan, jangan sampai karung atau peti paling bawah rusak karena terkena beban yang terlalu berat. Agar komoditi tidak cepat rusak maka sebaiknya didalam alat pengangkut diberi pendingin terutama untuk angkutan jarak jauh.
3.7.4. Pengepakan untuk Konsumen
Umumnya konsumen menghendaki buncis dalam keadaan segar, bersih, sehat dan mempunyai ukuran yang sama. Untuk itu diperlukan pengepakan lagi sebelum sampai kekonsumen. Pengepakan ini telah dilakukan oleh produsen yang memasok buncis kepasar swalayan. Tiap pak mempunyai berat sekitar 1-1,5 kg dan berisi buncis yang seragam ukurannya.
IV. ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA TANAMAN
4.1. Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan analisis budidaya buncis dengan luas lahan 1 ha permusim tanam (2 bulan) di daerah Bogor, Jawa Barat tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a. Biaya produksi
1. Sewa lahan per musim tanam
2. Bibit: 10 kg @ Rp.12.500,-
3. Pupuk
- Urea: 170 kg @ Rp. 1.500 ,-
- ZA: 41 Kg @ Rp. 1.500,-
- TSP: 143 kg @ Rp. 1.800,-
- KCl: 80 kg @ Rp. 1.650,-
- Pupuk kandang: 7.830 kg @ Rp. 150,-
4. Pestisida
- ZPt 2 cc/l
- Pestisida: 3 kg
5. Tenaga kerja
- Pengolahan tanah: 100 HKO @ Rp. 10.000,-
- Penanaman: 20 HKO @ Rp. 10.000,-
- Pemupukan: 20 HKO @ Rp. 10.000,-
- Penyiangan: 10 HKO @ Rp. 10.000,-
- Perlindungan tanaman: 10 HKO @ RP. 10.000,-
6. Panen dan pascapanen
- Panen: 20 HKO @ RP. 10.000,-
- Pasca panen: 20 HKO @ Rp. 10.000,-
7. Lain-lain
Jumlah biaya produksi
b) Pendapatan: 8.538 kg polong muda @ Rp 750,-
c) Keuntungan
d) Parameter kelayakan usaha
- Rasio biaya dan pendapatan (R/C)
Rp.
Rp.

Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.

Rp.
Rp.

Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.

Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.

=
350.000,-
125.000,-

255.000,-
61.500,-
257.400,-
132.000,-
1.174.500,-

75.000,-
150.000,-

1.000.000,-
200.000,-
200.000,-
100.000,-
100.000,-

200.000,-
200.000,-
50.000,-
4.430.400,-
6.403.500,-
1.973.100,-

1,445
4.2. Gambaran Peluang Agribisnis
Sampai saat ini pola pemasaran buncis yang berjalan adalah rantai pemasaran tradisional. Petani produsen menjual hasilnya ke leverensir/tengkulak kebun yang ditugaskan oleh leverensir. Leverensir lalu mengirim hasil langsung ke bandar untuk diteruskan ke pasar-pasar kecil sebagai pengecer yang akhirnya sampai ke konsumen. Dapat pula petani produsen langsung menjual hasilnya ke pengecer setempat. Berarti, tata niaga tersebut belum berjalan dengan efisien. Sistem tata niaga dianggap efisien bila mempunyai 2 syarat:
a) Hasil dari pertani diterima konsumen dengan biaya murah.
b) Harga yang dibayarkan konsumen dibagikan secara adil pada semua pihak yang ikut serta dalam memproduksi dan memasarkan hasil tersebut.
Untuk menghitung besarnya hasil yang diterima petani, tidak terlepas dari perhitungan margin dari lembaga tata niaga yang bersangkut paut. Dasar perhitungan marketing margin ialah penyerahan di konsumen akhir dari semua penerimaan untuk saluran yang sama, yakni terhadap 1 kg sayur yang dijual di konsumen akhir. Biasanya bandar dan pengecer mempunyai penerimaan margin terbesar pada tata niaga rantai panjang. Sedangkan untuk tata niaga rantai pendek, petani dan pengecer mendapatkan margin yang cukup besar. Contohnya, margin yang diterima oleh petani dan lembaga tata niaga di daerah Lembang. Pada tata niaga rantai panjang, petani mendapat bagian sebesar 58,6%. Pada tata niaga rantai pendek petani mendapat bagian 88%, sedangkan lembaga tata niaga mendapatkan hanya 12%.

V. STANDAR PRODUKSI
5.1. Ruang Lingkup
Standar ini meliputi syarat mutu, cara pengujian mutu, cara pengambilan contoh dan cara pengemasan.
5.2. Diskripsi

5.3. Klasifikasi dan Standar Mutu
Menurut persetujuan pembeli dan penjual.

5.4. Pengambilan Contoh
Contoh diambil secara acak dari jumlah kemasan yang ada. Dari setiap kemasan diambil contoh sebanyak 3 kg dari bagian atas, tengah dan bawah. Contoh tersebut diacak bertingkat (stratified random sampling) sampai diperoleh minimum 3 kg untuk dianalisis. Jumlah kemasan yang diambil dalam pengambilan contoh dalam lot adalah :
a) Jumlah kemasan 1 sampai 100, contoh yang diambil=5.
b) Jumlah kemasan 101 sampai 300 , contoh yang diambil=7.
c) Jumlah kemasan 301 sampai 500, contoh yang diambil= 9.
d) Jumlah kemasan 501 sampai 1000, contoh yang diambil=10.
e) Jumlah kemasan lebih dari 1000, contoh yang diambil=minimum 15.
Petugas pengambil contoh harus memenuhi syarat yaitu orang yang berpengalaman atau dilatih lebih dahulu dan mempunyai ikatan dengan badan hukum.
5.5. Pengemasan
Menurut persetujuan pembeli dan penjual.
VI. REFERENSI
6.1. Daftar Pustaka
a) Rahmat Rukmana, cetakan kedua tahun 1998, "Bertanam Buncis", penerbit Kanisius.


Read more.....

Senin, 06 Juli 2009

Panduan Umum Pertanian Organik

Lahan
Pada dasarnya semua lahan dapat dikembangkan menjadi lahan PO. Yang terbaik adalah lahan pertanian yang berasal dari praktek pertanian tradisional atau hutan alam yang tidak pernah mendapatkan asupan bahan-bahan agrokimia (pupuk dan pestisida).
Namun, bila lahan yang digunakan berasal dari lahan bekas budidaya pertanian konvensional (menggunakan pupuk dan pestisida kimia), lebih dahulu perlu dilakukan konversi lahan. Konversi lahan

adalah upaya yang bertujuan untuk meminimalkan kandungan sisa-sisa bahan kimia yang terdapat dalam tanah dan memulihkan unsur fauna dan mikroorganisme tanah. Lamanya konversi tergantung dari intensitas pemakaian input kimiawi dan jenis tanaman sebelumnya (sayuran, padi atau tanaman keras).
Masa konversi dapat diperpanjang/diperpendek tergantung pada sejarah lahan tersebut. Bila masa konversi telah lewat, lahan tersebut merupakan lahan organik. Bila kurang dari itu, maka lahan tersebut masih merupakan lahan konversi menuju organik.
Benih
Benih yang digunakan untuk budidaya PO adalah benih yang tidak mendapatkan perlakuan rekayasa genetika. Petani sebaiknya menggunakan benih lokal, atau benih hibrida yang telah beradaptasi dengan alam sekitar.
Keunggulan menggunakan benih lokal adalah mudah memperolehnya dan murah harganya, bahkan petani bisa membenihkan sendiri. Selain itu, benih lokal memiliki asal usul yang jelas dan sesuai dengan kondisi alam sekitar. Dengan memakai benih sendiri, petani juga tidak tergantung pada pihak luar.

Persiapan tanam

Lahan yang digunakan untuk produksi PO sedapat mungkin dijaga kestabilannya tanpa harus mengacaukan, yaitu berpedoman pada metode sedikit olah tanah (minimum tillage).
Tanam
Prinsip yang diterapkan dalam praktek penanaman PO selalu mencerminkan adanya tumpangsari agar tercipta keanekaragaman tanaman (varietas). Perencanaan dan teknik penanaman perlu disesuaikan dengan sifat tanaman, prinsip-prinsip pergiliran tanaman dan kondisi cuaca setempat.

Pemeliharaan Tanaman

Setiap tanaman memiliki sifat karakteristik tertentu, maka pemeliharaan tanaman ditentukan oleh sifat karakteristik tersebut. Dengan mengenali karakteristik tanaman petani dapat dengan mudah melakukan pemeliharaan yang sesuai, sehingga tujuan pemeliharaan tercapai yaitu “kebahagiaan tanaman itu sendiri”.

Pemupukan

Secara teori, lahan PO akan semakin subur karena proses-proses yang diterapkan berpedoman pada pemeliharaan tanah. Tetapi realitanya, petani seringkali kurang memahami hal ini sehingga tanah selalu lebih banyak kehilangan unsur hara —melalui erosi, penguapan, dsb— dibandingkan dengan hara yang diberikan/ditambahkan. Maka prinsip pemupukan ditentukan oleh kepekaan kita dalam mengamati/menilai kapan tanaman kekurangan makanan.

Pengendalian HPT/OPT

PO berbasis pada keseimbangan ekosistem. Konsekuensinya semua organisme yang ada (termasuk hama) dipandang ikut berperan dalam proses keseimbangan tersebut. Dengan kata lain, tidak ada mahluk hidup yang tidak berguna. Yang diperlukan adalah mengendalikan hama/penyakit supaya tidak berada dalam jumlah berlebihan.
Pola tumpangsari, pergiliran tanaman, pemulsaan, rekayasa teknik menanam, dan manajemen kebun menjadi pilihan metode pengendalian HPT karena sesuai dengan prinsip keseimbangan.Penggunaan pestisida alami diperlukan sejauh kita tahu bahwa di lahan PO sedang terjadi ketidakseimbangan, yang terlihat pada munculnya gangguan hama/penyakit. Kadar pemakaiannya juga tergantung dari tingkat gangguan yang ada.

Panen

Setiap langkah dalam proses produksi akan dinilai dari hasil panenan. Prinsip dalam panen adalah menjaga standar mutu dengan memanen tepat waktu sesuai kematangan. Cara pemanenan juga perlu berhati-hati sehingga tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan hasil yang lebih besar.

Pasca Panen

Kegiatan pasca panen harus mampu menekan kerusakan hasil seminimal mungkin. Metode pengolahan yang dilakukan tidak boleh mengubah sama sekali komposisi bahan aslinya. Karenanya proses seleksi, pencucian, pengepakan, penyimpanan dan pengangkutan produk organik perlu berhati-hati agar kondisi tetap segar dan sehat ketika berada di tangan pembeli. Dalam PO, kegiatan pasca panen menghindari pemakaian bahan pengawet atau perlakuan kimiawi lainnya dan seminimal mungkin melakukan proses pengolahan.
Dalam PO berlaku standar yang berfungsi sebagai pedoman bagi petani dan pelaku lain dalam menjalankan usahanya di bidang ini. Standar ini berisi prinsip-prinsip mendasar PO dan hal-hal umum yang sebaiknya dilakukan dan dihindari dalam bertani organik. Sebagai contoh, pemerintah telah menerbitkan SNI (Standar Nasional Indonesia ) 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik yang dapat menjadi acuan bagi para pelaku terkait pengembangan PO. Standar ini mengacu pada standar internasional yakni Codex CAC/GL 32/1999, dan cukup selaras dengan standar dasar IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement). BIOCert sendiri tengah mengembangkan standar PO yang selaras dengan pedoman di atas dan sesuai dengan visi dan misi BIOCert.
sumber: http://pertanianorganik.wordpress.com

Read more.....

Jumat, 26 Juni 2009

The History of Angus Cattle

In the northeastern part of Scotland lie the four counties of Aberdeen, Banff, Kincardine, and Angus. These counties touch the North Sea and all extend inland and have some high or mountainous country. They have been favored through the ages with a temperate climate and good crops, although the topography

of the country is rough. Pastures do well in the area because of well-distributed rainfall. Plenty of grass, plus a nearly ideal temperature for cattle production, has made the area very suitable for some of the greatest improvement that has been made in our purebred breeds of cattle. The county of Angus was early noted for its production of potatoes, grain crops, and feed. This shire contains a fine expanse of highly cultivated land known as Strathmore, which is one of the very fine valleys in that part of Scotland and which has become famous in the history of the Aberdeen-Angus breed. The county of Aberdeen is the most productive agricultural region in Scotland and depends largely upon crops and livestock for income. The fishing industry, however, is stressed along the coastline. The tiny counties of Banff and Kincardine have long been known as livestock centers.
Northern Scotland, although in a more northern latitude than the United States, has a more uniform temperature throughout the year. The Gulf Steam tempers the climate in the winter, and the summers remain cooler than weather commonly experienced in the United States.

Origin
There are three distinct and well-defined breeds of polled cattle in the United Kingdom. These breeds are the Aberdeen-Angus, the Galloway, and the red polled Norfolk and Suffolk breed that is found in England. Polled cattle apparently existed in Scotland before recorded history because the likeness of such cattle is found in prehistoric carvings of Aberdeen and Angus. Historians state that there were hornless cattle in Siberia centuries earlier. A hornless race of cattle was depicted in Egypt by sculptors and painters of that ancient civilization. Some historians feel that the Aberdeen-Angus breed and the other Scottish breeds sprang from the aboriginal cattle of the country and that the breeds as we find them today are indigenous to the districts in which they are still found.
Early Scottish Cattle. Although little is known about the early origin of the cattle that later became known as the Aberdeen-Angus breed, it is thought that the improvement of the original stock found in the area began in the last half of the 18th century. The cattle found in northern Scotland were not of uniform color, and many of the cattle of the early days had varied color markings or broken color patterns. Many of the cattle were polled, but some few had horns. The characteristics we commonly call polled was often referred to in the old Scottish writings by the terms of "humble," "doddies," "humlies," or "homyl."
Foundation of the Breed
Two strains were used in the formation of what later became known s the Aberdeen-Angus breed of cattle. In the county of Angus, cattle had existed for some time that were known as Angus doddies. MacDonald and Sinclair quote the Rev. James Playfair as having written in 1797, "There are 1129 horned cattle of all ages and sexes in the parish. I have no other name to them; but many of them are dodded, wanting horns." This seems to be the first authentic reference to polled cattle in the county of Angus, apart from ancient sculptures. In the area of Aberdeenshire, other polled cattle were found and were called Buchan "humlies," Buchan being the principal agricultural district in Aberdeenshire. These cattle were apparently early valued as work oxen, as were most of the other strains of cattle that later acquired various breed names. MacDonald and Sinclair believed that polled cattle were found in Aberdeen in the 16th century, and stated: 2
Improvement in Scottish Agriculture. Apparently little attention was given to the breeding of cattle before the middle of the 18th century, but in the last half of that century, great progress was made in Scottish agriculture. It is not strange that, as farming practices were improved, men likewise sought to improve the livestock on their farms. It was only natural that breeders, in improving their cattle, would but cattle of similar kinds from adjacent areas, and as a result, the cattle of the Angus doddie strain and the Buchan humlie strain were crossed. Crossing and recrossing these strains of cattle eventually led to a distinct breed that was not far different from either type, since the two strains were originally of rather similar type and color pattern.
The Early Herds. By the beginning of the 19th century, the polled cattle of the Buchan district had attained considerable favor as market cattle for the production of carcass beef. Among the polled herds of Aberdeenshire that were famous for such production in the early 1800s were those of Messrs. Williamson of St. John’s Wells and Robert Walker of Wester Fintray. The Williamson herd later supplied the herd of Tillyfour and, through it, the Ballindalloch herd with some of their humlies. In Angus, the herds of William Fullerton, Lord Panmure, Lord Southesk, and Alexander Bowie contributed many of the Angus doddies that later became prominent in the breed. Robert Walker of Portlethen seems to have been the principal cattle breeder in Kincardineshire.
The Contribution of Hugh Watson.
If any one person can be singled out as the founder of a breed of livestock, Hugh Watson of Keillor, who lived in the vale of Strathmore in Angus, is worthy of that distinction. If not the first real improver of Aberdeen-Angus cattle, he was certainly the most systematic and successful. Both his father and grandfather had been buyers and breeders of the Angus doddies. The family is known to have owned cattle as early as 1735. Hugh Watson was born in 1789 and, in 1808, at the time he was 19 years of age, he became a tenant at Keillor.
When Hugh Watson started his farming activities at Keillor, he received from his father’s herd six of the best and blackest cows, as well as a bull. That same summer, he visited some of the leading Scottish cattle markets and purchased the 10 best heifers and the best bull that he could find that showed characteristics of the Angus cattle that he was striving to breed. The females were of various colors, but the bull was black; Watson decided that the color of his herd should be black and he started selecting in that direction.
Mr. Watson’s favorite bull was Old Jock 126 (1), 3 who was awarded the number "1" in the Herd Book at the time it was founded. The bull was bred by Watson in 1842 and was sired by Grey-Breasted Jock 113 (2). The bull apparently was used very heavily in the herd from 1843 until 1852 and was awarded the sweepstakes for bulls at the Highland Society Show at Perth in 1852, when he was 11 years old.
A very famous cow also made considerable history in the herd at Keillor. This cow was Old Granny 125 (1), who was calved in 1824 and was killed by lightning when past 35 years of age. She is reported to have produced a total of 29 calves, 11 of which were registered in the Herd Book. A very large percentage of our living Aberdeen-Angus cattle trace to either Old Granny or Old Jock, or both of these very famous foundation animals, and most would trace many times if their pedigrees were extended to the foundation of the breed.
Hugh Watson practiced the fitting and showing of his cattle more than was common by other breeders of his day. He made his first exhibition at the Highland Agricultural Society Show at Perth in 1829. During his long show career, he is said to have won over 500 prizes with his cattle and did a great deal to increase the popularity of the black polled cattle over the British Isles.
Other Early Contributors. Lord Panmure established a herd of polled cattle in 1835, and not only operated a private herd but also encouraged his tenants to breed good doddies. William Fullerton, who was born in 1810, began to breed cattle in 1833. His most important early purchase was that of another Aberdeen cow named Black Meg. Black Meg 43 (766) is sometimes referred to as the founder of the breed, since more cattle trace to her than to any other female used in the origin of the breed. 4 She is the only cow to surpass Old Granny in this respect. Robert Walker of Porlethen founded his herd in 1818 and continued to breed cattle successfully until his death in 1874.
Shorthorn Breed Threatens the Aberdeen-Angus. In 1810, the Colling brothers of England sold the famous Shorthorn bull Comet at $5,000. The publicity resulting from this sale naturally spread throughout Scotland, and many breeders looked with favor upon the use of Shorthorn blood in improving the native cattle. Subsequently good herds of Shorthorn cattle were established in Scotland, and the cattle were used in the improvement of native stock. The use of the Shorthorn cattle on the black native cows was a very common practice of the period for the raising of commercial stock. This practice of crossbreeding threatened the Aberdeen-Angus breed with extinction.
It is often suggested that some Shorthorn blood found its way into the Aberdeen-Angus breed prior to the time the Herd Book was closed. Alexander Keith, secretary of the Aberdeen-Angus Cattle Society from 1944 to 1955, takes exception to this opinion by writing:
Improvement and Expansion of the Aberdeen-Angus
The Great Preserver. William McCombie of Tillyfour is regarded as the preserver and great improver of the Aberdeen-Angus breed. Fullerton and others had started the blending of the two types of cattle, which later became known as the Aberdeen-Angus, but this success was enlarged at Tillyfour. The master of Tillyfour was born in 1805 and died in the spring of 1880. Like his father before him, he had been a successful dealer in cattle before he began his operations in 1829 as a tenant farmer. Mr. McCombie is distinguished in the history of the Aberdeen-Angus breed because of his great foresight in planning matings, his careful management, his unparalleled success in the show ring, and in publicizing his famous cattle. Probably his crowning success in the show ring was at the great International Exposition held at Paris in 1878. There he won the first prize of $500 as an exhibitor of cattle from a foreign country and also the grand prize of $500 for the best group of beef-producing animals bred by any exhibitor.
Not only did Mr. McCombie show in breeding classes but he also exhibited in steer classes at the market shows. Probably the most famous steer that her produced was the famous show animal Black prince, who won at the Birmingham and Smithfield Shows in 1867 when he was four years of age. From the latter show, he was taken to Windsor Castle for the personal inspection of Queen Victoria, and later her Majesty accepted some Christmas beef from the carcass of the steer.
The English Crown has long been interested in livestock improvement, and Queen Victoria paid a personal visit to Tillyfour a year or two after the visit of the famous Black prince to the castle. Such a tribute to an outstanding breeder naturally attracted great attention to the already famous herd. McCombie had the further distinction of being the first tenant farmer in Scotland to be elected to the House of Commons.
According to the historian Sanders:
Aberdeen-Angus history may fairly be divided into two periods; the first, before William McCombie’s time; the second, since. That is as good as any other way of saying that the Master of Tillyfour-recognized cattle king of his day and generation in Aberdeen-Angusshire and of all Scotland-stands a very colossus upon any canvas which accurately portrays the original arrival of black cattle as a factor of world importance in the field of prime beef production.
William McCombie always had utility in mind in producing his cattle, and his ideal beast seems to have been one with size, symmetry, and balance, yet with strength of constitution and disposition to accumulate flesh.
Important Developments at Tillyfour. Although his original stock was gathered from many sources and his purchases were many, Mr. McCombie’s outstanding acquisition was probably the good yearling heifer Queen Mother 41 (348) at the Ardestie Sale.
Mr. McCombie purchased the bull Hanton 80 (228), calved in 1853, from the breeder Alexander Bowie. This bull was a grandson of Old Jock 126 (1) and was said to have weighed a ton at maturity. Despite the fact that he had scurs, he was a great show bull and was exhibited widely by Me. McCombie. The bull’s success, however, was more pronounced in the breeding pen, and he probably made his greatest contribution to the breed through his double grandson, Black Prince of Tillyfour 77 (366), calved in 1860. Few, if any, cattle of the breed are living today that do not trace at least a dozen times to Black Prince of Tillyfour. It is difficult to say how much contribution Mr. McCombie made to the Aberdeen-Angus breed through his successes in the show ring, but he outstripped all of his competition in England, Scotland, and France. Consequently, the name of Aberdeen-Angus became known on an international basis. It was on the farm of William McCombie that the Aberdeen-Angus breed really took shape, because prior to his time, people spoke of the cattle as Aberdeen and Angus. In his herd was found the justification for leaving out the "and" and replacing it with the hyphen that has become familiar. At Tillyfour, the master breeder molded the two original strains into one improved breed superior to either of its components. There is no question but that the "preserver" of the Angus breed left the breed far better than he found it.
The Ballindalloch Herd.
Another very famous Aberdeen-Angus herd in Scotland was that of Ballindalloch, but the origin of this herd is lost in the mists of antiquity. It was probably first founded by Sir John MacPherson Grant, but it was not until the time the farm came into the hands of Sir George, a son, that systematic breeding was started. Sir George drew heavily on Tillyfour cattle in establishing his herd.
It was very fortunate for the breed that the Ballindalloch herd was kept in the family for over three generations. The main herd was dispersed on August 8, 1934, but it had already left a great imprint on the Aberdeen-Angus world. Not only was the Ballindalloch herd the outstanding herd in Scotland but it mush also be given credit for having furnished a great deal of very valuable foundation stock to the herds of the United States and other foreign countries.
The First Angus In America. When George Grant transported four Angus bulls from Scotland to the middle of the Kansas prairie in 1873, they were part of the Scotsman's dream to found a colony of wealthy, stock-raising Britishers. Grant died five years later, and many of the settlers at his Victoria, Kansas colony later returned to their homeland. However, these four Angus bulls, probably from the herd of George Brown of Westertown, Fochabers, Scotland, made a lasting impression on the U.S. cattle industry.
When two of the George Grant bulls were exhibited in the fall of 1873 at the Kansas City (Missouri) Livestock Exposition, some considered them "freaks" because of their polled (naturally hornless) heads and solid black color (Shorthorns were then the dominant breed.) Grant, a forward thinker, crossed the bulls with native Texas longhorn cows, producing a large number of hornless black calves that survived well on the winter range. The Angus crosses wintered better and weighed more the next spring, the first demonstration of the breed's value in their new homeland.
Early Importers and Breeders. The first great herds of Angus beef cattle in America were built up by purchasing stock directly from Scotland. Twelve hundred cattle alone were imported, mostly to the Midwest, in a period of explosive growth between 1878 and 1883 . Over the next quarter of a century these early owners, in turn, helped start other herds by breeding, showing, and selling their registered stock

http://www.ansi.okstate.edu
http://www.lonelyplanet.com
http://www.angus.org

Read more.....