Rabu, 07 Oktober 2009

Persoalan Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah

Banyak pihak menilai bahwa pembangunan sumber daya manusia
pertanian, termasuk pembangunan kelembagaan penyuluhan dan peningkatan kegiatan
penyuluhan pertanian, adalah faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap
cerita keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia. Khususnya dalam upaya
pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 dan penurunan jumlah penduduk miskin
perdesaan. Beberapa studi juga menunjukkan

bahwa investasi di bidang penyuluhan
pertanian memberikan tingkat pengembalian internal yang tinggi. Oleh karena itu,
kegiatan penyuluhan pertanian merupakan komponen penting dalam keseluruhan aspek
pembangunan pertanian. Namun, ketika proses transformasi ekonomi menuju ke
industrialisasi berlangsung, anggaran pemerintah untuk mendukung pembangunan
sektor pertanian, termasuk penyuluhan pertanian, mengalami penurunan yang
signifikan.
Di samping harus menghadapi keterbatasan alokasi anggaran, sejak
akhir 1980-an kegiatan penyuluhan pertanian mengalami beberapa persoalan, antara
lain:
a.
Kelembagaan penyuluhan pertanian sering berubah-ubah, sehingga
kegiatannya sering mengalami masa transisi. Kondisi ini menyebabkan penyuluhan
pertanian di lapangan sering terkatung-katung dan kurang berfungsi. Semangat
kerja para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang status kepegawaiannya tidak
pasti, juga menurun.
b.
Dibandingkan dengan kebutuhan, jumlah PPL yang ada kurang mencukupi,
demikian pula kualitas dan kapasitasnya. Umumnya pendidikan mereka hanya
setingkat SLTA sehingga kurang mampu mendukung petani dalam menghadapi persoalan
pertanian yang semakin kompleks. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah
memang telah meningkatkan kemampuan mereka melalui berbagai pelatihan, namun
frekuensi kegiatan semacam ini cenderung masih kurang memadai.

Mulai tahun 2001, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah,
kewenangan di bidang penyuluhan pertanian dilimpahkan kepada pemerintah daerah.
Sesuai dengan tujuan otonomi daerah, pelimpahan kewenangan ini diharapkan mampu
meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian. Sayangnya, secara umum kinerja
penyuluhan pertanian justru cenderung makin memburuk, serta menunjukkan gejala
kehilangan arah. Kendala yang dihadapi oleh penyuluhan pertanian dalam era
otonomi daerah antara lain meliputi dan merupakan akibat dari:
a.
Adanya perbedaan pandangan antara pemerintah daerah dan para
anggota DPRD dalam memahami penyuluhan pertanian dan peranannya dalam
pembangunan pertanian. Banyak daerah yang kemudian mengurangi peranan
kelembagaan penyuluhan pertanian menjadi sekedar sebagai lembaga teknis, tidak
berbeda misalnya dengan kelembagaan untuk perlindungan tanaman. Akibatnya, jenis
kelembagaan dan organisasi penyuluhan pertanian di daerah menjadi sangat beragam
dengan eselon yang beragam pula. Perbedaan eselon antara pejabat struktural (dinas)
dengan pejabat fungsional (penyuluhan) menjadi salah satu kendala untuk
melakukan koordinasi pelaksanaan program penyuluhan.
b.
Kecilnya alokasi anggaran pemerintah daerah untuk kegiatan
penyuluhan pertanian. Hal ini antara lain mengakibatkan:
• Rasio antara jumlah kendaraan operasional (sepeda motor) dengan jumlah PPL sangat rendah, akibatnya mobilitas para PPL menjadi rendah pula.
• Fungsi strategis BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) umumnya tidak didukung oleh fasilitas yang memadai. Selain jumlahnya kurang mencukupi, saat ini kondisi umum BPP juga kurang representatif sebagai pusat kegiatan penyuluhan pertanian. Fasilitas dan kelengkapan BPP
kurang terawat dan jumlahnya sangat sedikit. Kondisi ini menjadi salah satu
faktor penyebab merosotnya atau hilangnya penghargaan dan kepercayaan petani dan masyarakat sekitar terhadap para penyuluh dan kegiatan penyuluhan.
• Alokasi dana bagi penunjang kegiatan operasional penyuluhan mengalami penurunan yang signifikan. Untuk keperluan ATK (alat tulis kantor), misalnya, ada kasus para penyuluh hanya menerima kertas sebanyak setengah rim dan dua kotak isi staples untuk kegiatan selama satu tahun. Jumlah uang jalan tetap (UJT) bagi PPL juga mengalami pengurangan dan distribusinya antardaerah dan dinas tidak merata.

c.
Ketersediaan dan dukungan informasi pertanian (teknologi, harga
pasar, kesempatan berusaha tani, dsb.) yang ada di BPP sangat terbatas, atau
bahkan tidak tersedia. Ironisnya, sejumlah koran, majalah dan leaflet banyak
terlihat menumpuk di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten, tidak didistribusikan ke
BPP atau desa-desa.
d.
Makin merosotnya kapasitas dan kemampuan manajerial penyuluh.
Akibatnya, frekuensi penyelenggaraan penyuluhan menjadi rendah. Program
penyuluhan yang disusun BPP lebih banyak hanya digunakan sebagai formalitas
kelengkapan administratif. Kalaupun dilaksanakan, proporsinya tidak lebih dari
50% dari sasaran program yang direncanakan. Beberapa hal yang berkaitan dengan
kondisi ini adalah:
• Para PPL tidak aktif lagi mengunjungi Kelompok Tani. Alasannya, petani sekarang sudah enggan menemui para penyuluh karena setiap kali datang ke Kelompok Tani, hanya satu atau dua orang petani saja yang mau menemui mereka. Hal ini membuat para penyuluh tidak lagi tertarik serta enggan bertemu dengan petani.
• Menurut petani, mereka enggan menemui para penyuluh karena materi penyuluhan dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan, hanya berkisar pada persoalan umum usaha tani. Para petani merasa lebih memahami masalah itu daripada PPL.

Melihat kecenderungan yang terjadi saat ini, dapat dikatakan bahwa
kegiatan penyuluhan pertanian menghadapi tantangan yang makin berat.
Persoalannya tidak saja terletak pada faktor eksternal seperti kebijakan
pemerintah daerah yang umumnya tidak pro-penyuluhan pertanian, melainkan juga
terletak pada faktor internal, khususnya yang berkaitan dengan profesionalisme
dan paradigma penyuluhan yang dianut para penyuluh dan atau pemerintah daerah.
Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, banyak pihak menyadari
bahwa kegiatan penyuluhan pertanian masih sangat diperlukan oleh petani. Kondisi
pertanian rakyat masih lemah dalam banyak aspek, sementara tantangan yang
dihadapi semakin berat, jadi sebenarnya mereka justru memerlukan kegiatan
penyuluhan yang makin intensif, berkesinambungan dan terarah. Untuk mewujudkan
kondisi penyuluhan pertanian seperti ini memang tidak mudah, dan tidak mungkin
dapat dilakukan dalam waktu singkat. Meskipun demikian, upaya-upaya perbaikan
yang nyata perlu segera dilakukan, karena jika tidak, kinerja penyuluhan
pertanian yang memang sudah mengalami kemunduran besar akan semakin memburuk



Tidak ada komentar:

Posting Komentar